Minggu, 23 Juni 2013

agama dan politik



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Agama merupakan hal yang sangat menarik untuk diperdebatkan. Bahkan suatu hal jika tanpa membawa-bawa agama terkesan biasa saja, namun setelah membawa agama maka akan menarik berbagai orang untuk memperdebatkannya. Demikian juga dalam bidang politik. Betapa Politik yang melibatkan agama sangat ramai dalam pro kontranya dibandingakan politik yang tidak melibatkan agama.
Menilik agama yang berhubungan dengan politik. Bagaimana bisa agama dan politik bersatu. sebab seringkali orang mengartikan yang namanya agama itu hanyalah semata-mata satu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Kuasa saja. Definisi ini mungkin tepat bagi bermacam-macam agama. agama berperan mengoreksi politik yang menyimpang dari tujuan mulianya menyejahterakan rakyat dan politik mesti pula membangkitkan kesadaran agama untuk tidak terbuai dalam permainan politik lalu melupakan fungsi kritis agama dan sikap membisu agama terhadap aktivitas politik.
Menulis agama dan politik memang ibarat menulis garis. Karena agama harus menarik garis pisah yang jelas dari politik agar tidak terkooptasi dan disubordinasi. Karena ketika dikooptasi politik negara, agama hanya akan menjadi alat di tangan kekuasaan negara untuk mendapatkan legitimasi. Agamapun akan membisu ketika ketidakadilan dan ketidakbenaran merajalela. Namun di sisi lain agama sebagai sebuah institusi dalam masyarakat harus pula mengoreksi politik agar hakikat sejati politik tetap terpelihara. Garis itu bengkok, saling tindih, atau apapun hasilnya, amat tergantung pada kecermatan kita untuk selalu mencari format baru dan tepat dalam membangun hubungan agama dan politik.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian agama dan politik?
2.      Bagaimana hubungan antara agama dengan politik di Indonesia?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian agama dan politik?
2.      Untuk mengetahui hubungan antara agama dengan politik di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
C.    Pengertian Agama dan Politik
1.      Pengertian Agama
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious). Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk dalam suprastruktur: agama terdiri dari tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka (Sanderson, Stephen K., 2011: 517).
Dalam kehidupan, agama merupakan identitas individu sehingga dapat membedakannya dari orang lain. Ada banyak sekali pendapat-pendapat mengenai makna agama. R. H. Thouless mengambil 3 definisi dimana masing-masing definisi itu merupakan suatu segi dari segi-segi agama pribadi, definisi tersebut adalah,
a.       Definisi Frazer
Agama adalah mencari keredaan atau kekuatan yang tinggi dari pada manusia, yaitu kekuasaan yang disangka oleh manusia dapat mengendalikan, menahan/menekan kelancaran alam dan kehidupan manusia.
b.      Definisi James Martineau
Agama adalah kepercayaan kepada yang hidup abadi, dimana diakui bahwa dengan pikiran dan kemauan Tuhan, alam ini diatur dan kelakuan manusia diperkuat.
c.       Definisi Mattegart
Agama adalah suatu keadaan jiwa, atau lebih tepat keadaan emosi yang didasarkan kepercayaan keserasian diri kita dengan alam semesta.
Thouless memandang, bahwa ketiga definisi tersebut adalah dalam pandangan ilmu jiwa umum, karena perasaan itu dapat dibagi atas 3 segi yakni tanggapan, emosi, dan dorongan. Ketiga macam itu dipilih oleh Thouless, karena menurut pendapatnya bahwa ketiga-tiganya merupakan tiga segi dari agama, yaitu:
a.       Yang pertama melukiskan cara/kelakuan.
b.      Yang kedua adalah keyakinan/pendapat akal.
c.       Yang ketiga adalah alat-alat, perasaan dan emosi.
Maka dari setiap definisi tentang agama, harus mengandung unsur-unsur tersebut dan definisi yang dipandangnya lebih cocok ialah sebagai berikut: “Agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu itu lebih tinggi dari pada manusia”(Zakiyah Daratjat, 1973: 34).
Sedangkan menurut pandangan sosiolog, Emile Durkheim mengemukakan makna agama, bahwa adanya perbedaan yang –sakral dan yang –profan serta terangkatnya beberapa aspek kehidupan sosial ke level yang –sakral memang merupakan syarat mutlak bagi keberadaan agama. Yang –sakral tercipta melalui ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol religius yang mengikat individu dalam suatu kelompok.  Syarat-syarat lain dari agama adalah kepercayaan, ritual agama dan gereja (tempat ibadah). Sedangkan definisi agama menurutnya adalah: “kesatuan sistem kepercayaan dan praktik yang menyatu dalam sebuah komunitas moral tunggal yang dinamai Gereja, semua melekat padanya” (Ritzer, 2011: 105).
Definisi agama menurut sosiologi adalah definisi empiris. Agama dipandang sebagai suatu institusi yang lain yang mengemban tugas atau fungsi agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup local, regional, nasional, maupun mondia maka dalam tinjauannya, yang dipentingkan ialah daya guna, dan pengaruh agama terhadap masyarakat, sehingga berkat eksistensi dan fungsi agama cita-cita masyarakat (akan keadilan dan kedamaian, dan akan kesejahteraan jasmani dan rohani).
Dilihat dari sudut kategori pemahaman manusia, agama memiliki dua segi yang membedakan dalam perwujudannya, yaitu:
a.       Segi kejiwaan (psychological state), yaitu suatu kondisi subjek atau kondisi dalam jiwa manusia, berkenaan dengan apa yang dirasakan oleh penganut agama. Kondisi inilah yang disebut dengan kondisi agama, yaitu kondisi patuh dan taat kepada yang disembah. Kondisi itu hampir sama dengan konsep religious emotion dari Emile Durhkeim. Emosi keagamaan seperti itu merupakan gejala individual yang dimiliki oleh setiap penganut agama yang membuat dirinya merasa sebagai “mahluk Tuhan”.
b.      Segi objektif (objective state), segi luar yang disebut juga kejadian objektif, dimensi empiris dari agama. Keadaan ini muncul ketika agama dinyatakan oleh penganutnya dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis, ritual, maupun persekutuan. Segi objektif ini lah yang bisa dipelajari apa adanya, dan dengan demikian bisa dipelajari dengan metode ilmu sosial. Segi kedua ini mencakup adat istiadat, upacara keagamaan, bangunan, tempat-tempat peribadatan, cerita yang dikisahkan, kepercayaan, dan prinsip-prinsip yang dianut oleh suatu masyarakat.
Meskipun agama berkaitan dengan berbagai keharusan, ketundukan, dan kepatuhan tetapi tidak setiap ketaatan itu bisa disebut dengan agama; bergantung pada siapa ketaatan itu diperuntukkan dan atas dasar motivasi apa ketaatan itu dilaksanakan. Berdasarkan hasil studi para ahli sosiologi dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu maupun kelompok.
2.      Pengertian Politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
a.       politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
b.      politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
c.       politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
d.      politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Pada umumnya apa yang disebutkan diatas berkaitan dengan bermacam-macam kegiatan dalam suatu negara, yang menyangkut proses penentuan dan pelaksanaan tujuan-tujuan. Untuk melaksanakan tujuan, perlu ditentukan kebijaksanaan umum yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi sumber-sumber dan berbagai sumber daya yang ada. Untuk itu diperlukan kekuatan dan kewenangan. Politik selalu menyangkut tujuan publik, tujuan masyarakat sebagai keseluruhan dan bukan tujuan pribadi seseorang.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik. Politik itu menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk kegiatan partai politik dan kegiatan individu demi kepentingan bersama.

B.     Hubungan Agama dan Politik
Dalam konsepsi sebagian besar masyarakat Indonesia, kehidupan politik juga seharusnya dilandasi oleh nilai-nilai agama. Konsepsi ini agak berbeda dengan politik di negara Barat yang memisahkan secara tegas antara politik dan agama. Politik dan posisi-posisi politik harus dipisahkan secara tegas dengan agama. Konsepsi ini menghendaki agar pemimpin agama tidak terlibat dalam politik praktis.
Mengkaji masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari faktor negara atau politik. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam merupakan faktor berpengaruh terhadap politik. Ada dua alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, karena secara kuantitas umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas. Kedua, karena adanya pemikiran dalam umat Islam sendiri bahwa memang Islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Deliar Noer termasuk orang yang berpandangan bahwa Islam mempunyai konsep negara dan Islam dengan politik tidak dapat dipisahkan. Menurut Deliar Noer, sebagai sebuah konsep (bukan nama) negara Islam dilandasi oleh:
1. Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai pegangan hidup bernegara,
2. Hukum harus dijalankan,
3. Prinsip Syura (Musyawarah) dijalankan,
4. Kebebasan diberikan tempat,
5. Toleransi antar agama.
Kebijakan keagamaan di Indonesia telah menempuh jalan yang panjang. Hingga tahun 1960-an, persoalan keagamaan yang beraneka ragam di tanah air belum banyak tersentuh. Pemerintah sejak lama memandang keanekaragaman agama ini sebagai potensi penghambat pembangunan Indonesia yang satu dan kuat. Kementerian agama yang di bentuk pada tahun 1946 memiliki tugas yang eksplisit antara lain mengawasi kegiatan keagamaan dan aliran-aliran/paham-paham, melakukan bimbingan dan pembinaan terhadap gerakan mistik agar kembali ke agama induk dan mengharuskan mereka untuk menegakkan hukum dan peribadatan agama khususnya Islam.
Tugas-tugas ini menunjukan bahwa negara mulai menerapkan pemikiran sistemik secara lebih tegas. Selain itu, tugas pokok lain adalah membimbing dan membina masyarakat penganut agama resmi seperti Islam, Kristen Prostetan, Katolik, Hindu dan Budha (Muhammadiyah dalam Gonjang-ganjing Politik. Penerbit Media Pressindo. Hal. 53).
Pemerintah sendiri membuat definisi agama resmi yang diakui pemerintah sebagai sistem keyakinan kepada Tuhan yang memiliki kitab suci, nabi-nabi dan ajaran-ajaran. Dalam hal kebijakan keagamaan ini paling tidak pemerintah melakukan tiga hal. Pertama, membina umat yang sudah beragama di seluruh pelosok; Kedua, Memberagamakan warga masyarakat yang dianggap belum beragama; Ketiga, Pemerintah memerankan diri sebagai wasit sekaligus pemain dalam hubungan antarumat beragama.
Dari sudut pandang intrinsik, maka secara sederhana agama adalah keyakinan akan entitas spiritual. Jika kita menggunakan definisi yang lebih kompleks.  maka agama adalah suatu sistem simbol yang bekerja memantapkan suasana jiwa dan motivasi yang kuat, mendalam dan bertahan lama pada diri manusia dengan memformulasikan konsepsi-konsepsi keteraturan umum mengenai keberadaan dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas sehingga suasana jiwa dan motivasi tersebut seolah-olah secara unik nyata ada.
Dinamika hubungan antara agama dan negara berlangsung dalam konteks instrumentalisasi yang kerap kali ditempeli oleh muatan potensi integratif maupun disintegratif. Dengan konkretisasi, interpretasi dan formalisasi agama dalam kehidupan yang nyata, manusia memiliki legitimasi untuk menjadikannya sebagai instrument kekuasaan.
Ada tiga kemungkinan skenario politik keagamaan.: Pertama, agama dan negara terpisah satu sama lain. Doktrin agama hanya menjadi pedoman hidup manusia sebatas dalam keluarga dan masyarakat yang berwadahkan keorganisasian dalam masjid, gereja, kuil, dan lain-lain. Segala sesuatu yang berurusan dengan agama diselesaikan dalam institusi kegamaan tersebut. Prinsip utamanya adalah “Agama adalah Agama”. Dalam kenyataan, sukar menemukan pada abad global ini suatu institusi agama yang tidak tercemar sama sekali dengan pergumulan duniawi di luar dari agama.
Kedua, Agama dan Negara terikat satu sama lain (Integralistik) dalam pengertian agama memberi corak dominan atas negara. Dalam konteks ini agama bermain penuh sebagai instrumen, yakni aktualisasi agama di dalam sebagian besar institusi negara seperti institusi politik, ekonomi, hukum dan lainnya.
Ketiga, Agama ditempatkan dalam suatu sistem negara yang mengutamakan harmoni dan keseimbangan. Agama direduksi menjadi salah satu unsure saja dari sistem yang dipandang saling tergantung dengan unsur-unsur lain. Kebijakan kebijakan yang merupakan konkretisasi pendekatan sistemik ini jelas sekali menekankan kontrol yang tegas terhadap unsur-unsurnya, termasuk unsur agama agar selalu terwujud keteraturan yang harmonis tanpa guncangan. Setiap kali ada gejolak sekecil apapun, langsung diredam oleh negara (pemerintah) sehingga keseimbangan tercapai kembali.
Pendekatan ini langsung menempatkan negara (pemerintah) dalam kedudukan sentral yang lambat laun seolah melepaskan diri dari sistem dan bahkan mengontrol sistem. Keadaan ini membuat negara (pemerintah) semakin kuat karena sistem posisinya merosot menjadi subordinat, kehilangan kekuatan untuk mengontrol negara. Negara cenderung otoriter karena akumulasi kekuasaan berada di tangannya. Bagi KH Sahal, kepolitikan merupakan realitas historis atau Sunatullah yang tidak bisa terelakkan, menurutnya bahwa dalam proses hidupnya manusia tidak lepas dari pengaruh watak politik.
Telah menjadi sunatullah barangkali setiap kelompok ada yang dikuasai dan ada yang menguasai, ada yang memerintah dan yang diperintah serta ada yang dipengaruhi dan mempengaruhi, itulah konteks politik. Politik merupakan kebutuhan hidup menurut naluri manusiawi. Artinya bahwa Agama dan Negara tidak dapat dipisahkan. Kata din wasiyasah sesungguhnya menggambarkan bentuk integrasi agama dan negara. Meskipun negara (politik) dan agama tidak dapat dipisahkan, namun bukan berarti negara beserta produk-prosuknya harus berlabel Islam.
Relasi agama bagi K.H Sahal mengacu pada “simbiosis mutualisme” keduanya saling mempengaruhi dan membutuhkan untuk kemaslahatan umat. Negara harus di beri keleluasaan untuk mengatur aspek ideologis, karena bagaimanapun juga bagi bangsa Indonesia yang memiliki bermacam-macam agama, agama akan lebih berfungsi positif bila dilepaskan dari permasalahan ideologis.
Di lain pihak, independensi agama dalam hal yang menyangkut ibadah dan ajaran keimanan haruslah dihormati oleh negara. Pengaturannya selama ini masih dapat dititipkan pada sejumlah perangkat formal seperti undang-undang keormasan. Tetapi pada masa-masa yang akan datang hubungan itu akan lebih hidup bila dikembangkan melalui dialog budaya yang hidup dan berlingkup luas.
Kekuasaan politik haruslah sejalan dengan tujuan syariat, yaitu memelihara agama (din), akal (aql), jiwa (nafs), harta (mal) dan keturunan (nasl). Sementara pemimpin tidak hanya mereka yang memegang jabatan formal-struktural, mereka yang memegang kekuasaan kultural juga disebut pemimpin. Kepemimpinan politik kultural mempunyai fungsi yang strategis yakni sebagai kekuatan untuk mendinamisir masyarakat, memberikan pendidikan politik tentang hak dan kewajiban seorang warga negara di akar rumput (grass root).
Dalam konteks hubungan agama dan negara (ulama dan penguasa) dapat dijelaskan dengan prinsip “akomodasi kritis”, yaitu prinsip yang menuntut kemampuan para ulama untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan yang integratif terhadap agama. Islam harus di pandang sebagai faktor komplementer bagi komponen-komponen lain, Islam dalam hal ini difungsikan sebagai faktor integratif yang mendorong timbulnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan berkeadilan.
Agama secara hakiki berhungan dengan politik. Kepercayaan agama dapat mempengaruhi hukum, perbuatan yang oleh rakyat dianggap dosa, seperti sodomi dan incest, sering tidak legal. Seringakali agamalah yang memberi legitimasi kepada pemerintahan. Agama sangat melekat dalam kehidupan rakyat dalam masyarakat industri maupun nonindustri, sehingga kehadirannya tidak mungkin tidak terasa di bidang politik. Sedikit atau banyak, sejumlah pemerintahan di seluruh dunia menggunakan agama untuk memberi legitimasi pada kekuasaan politik.
Hubungan politik dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia, tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan legitimasi adalah bidang politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat dan sumbernya yang transcendent. 
Teologi Politik Kristen di Indonesia
Upaya berteologia politik telah lama ada dalam khasanah keristenan di Indonesia. Sebagai suatu proses yang tidak pernah berhenti, eksperemintasi berteologia politik itu telah dicatat sejarah pada masa penjajahan. Bahkan dapat dikatakan unik, sebab upaya itu tidak berangkat dari laboratorium intelektual, tetapi justru dari kalangan publicans, seperti Pattimura yang melakukan gerakan politik dengan mengangkat senjata di Maluku dan Manullang dan kawan-kawan di tanah Batak yang melakukan bentuk-bentuk penyadaran dan pengorganisasian yang mengusung tema-tema kemandirian dan kerja keras. Pada masa-masa pembebasan diri dari penjajahan, orang-orang kristen juga telah melakukan bentuk-bentuk teologia yang operasional dengan mendirikan organisasi-organisasi kemasyarakatan dan sebagian merubah diri menjadi partai politik. Kita dapat mencatat perkumpulan sosail Mardi Pratojo yang kemudian menjadi Partai Perserikatan Kaum Kristen (PKC) atau Christelijke Ambonche Volksbond (CAV), dll. Hal yang sama juga terjadi pada saat Indonesia merdeka. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) hadir sebagai bagian dari upaya dan proses berteologia politik secara operasional. Muatan atau tema-tema yang diusung dan dikomunikasikan kepada orang-orang kristen adalah dari dan demi kepentingan ‘orang kristen’. Sesuatu yang seringkali dikatakan orang sebagai lebih berpolitik ‘teknis’ ketimbang berpolitik ‘etis’. Disadari atau tidak, telah terjadi pembiaran yang berkepanjangan dalam tataran konseptual teologia politik kristen di Indonesia. Dasar berpijak dalam tabung ‘independensi’ gererja, dalam realitasnya seringkali diterjemahkan sebagai netralitas dan sterilisasi politik dalam semua ruang gereja.
Orang kristen harus menghormati kewibawaan pemerintahan dunia selama kebijakan itu dilakukan demi kesejahteraan masyarakat dan didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Tetapi kebijakan itu tidak boleh mengambil alih kewibawaan atau wewenang Allah. Bagaimana seharusnya orang kristen sebagai warga negara menaati lembaga-lembaga resmi negara yang mengatur kehidupan masyarakat dalam usahanya menegakkan kebenaran dan keadilan kesejahteraan masyarakat ditulis di Roma 13:13. Sikap orang kristen terhadap politik ada 3 bersifat antagonistis, rejektif, dan menyesuaikan. Respon yang benar itulah yang lebih penting dan menentukan sikap terhadap berbagai gejolak politik yang terjadi. Allah menghendaki orang kristen taat kepada pemerintah, sesuai dengan pengertian bahwa pemerintah menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh Allah. Tentunya pmerintah harus mempertanggung jawabkannya kepada pemberi kekuasaan yaitu Allah sendiri. Jika orang kristen tidak taat kepada pemerintah dan berpartisipasi secara aktif sebagai warga negara yang bertanggung jawab maka citra kekristenan akan rusak. Orang Kristen harus mengakui lembaga pemerintahan yang diadakan oleh karena kehendak Allah.
Pendekatan Agama Buddha terhadap politik
Pendekatan Agama Buddha terhadap politik adalah kemoralan dan tanggung jawab penggunaan kekuatan masyarakat. Sang Buddha mengkotbahkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian sebagai pesan universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau penghancuran kehidupan dan mengumumkan bahwa tidak ada satu hal yang dapat disebut sebagai suatu perang 'adil'. Beliau mengajarkan, "Yang menang melahirkan kebencian, yang kalah hidup dalam kesedihan. Barang siapa yang melepaskan keduanya baik kemenangan dan kekalahan akan berbahagia dan damai". Sang Buddha tidak hanya mengajarkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian, Beliau mungkin guru agama pertama dan satu-satunya yang pergi ke medan perang secara pribadi untuk mencegah pecahnya suatu perang. Beliau menguraikan ketegangan antara suku Sakya dan suku Koliya yang siap berperang atas air Sungai Rohini. Beliau juga meminta Raja Ajatasattu supaya jangan menyerang Kerajaan Vajji. Sang Buddha mendiskusikan penting dan perlunya suatu pemerintahan yang baik. Beliau memperlihatkan bagaimana suatu negara dapat menjadi korup, merosot nilainya dan tidak bahagia ketika kepala pemerintahan menjadi korup dan tidak adil. Beliau berbicara menentang korupsi dan bagaimana suatu pemerintahan harus bertindak berdasarkan pada prinsip- prinsip kemanusiaan. Suatu kali Sang.Buddha berkata, "Ketika penguasa suatu negara adil dan baik para menteri menjadi adil dan baik; ketika para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi adil dan baik; ketika para pejabat tinggi adil dan baik, rakyat jelata menjadi baik; ketika rakyat jelata menjadi baik, orang-orang menjadi adil dan baik". (Anguttara Nikaya).
Agama Buddha dapat atau harus tidak terlibat dalam proses politik, yang merupakan suatu realitas sosial. Bagaimanapun kehidupan anggota masyarakat dibentuk oleh hukum-hukum dan peraturan-peraturan, aturan-aturan ekonomi, lembaga-lembaga, yang dipengaruhi oleh penataan politik dari masyarakat tersebut. Namun, jika seorang umat Buddha berharap untuk terlibat dalam politik, dia harus tidak menyalahgunakan agama untuk memperoleh kekuatan politik. Juga tidak dianjurkan bagi mereka yang telah melepaskan kehidupan duniawi untuk menjalani suatu kehidupan agama yang murni untuk secara aktif terlibat dalam politik.
Politik dan Agama Hindu
Dalam beberapa dasawarsa belakangan ini, system kasta tidak diakui lagi sebagai nilai agama Hindu dan versi ini yaitu agama Hindu tanpa kasta, hanya dikomunikasikan oleh kelompok kecil para pengikut saja dan itupun kurang berhasil. Sebab menurut agama Hindu tradisional, hierarki kasta sosial dengan kasta brahmana ditingkat teratas itu, ditentukan oleh Tuhan bagaimana dinyatakan dalam kitab-kitab sucinya. Hal ini terbukti dimasa kini banyaknya orang-orang yang beragama Hindu turut serta berpartisipasi dalam kegiatan politik. Hal ini merupakan salah satu wujud dari keterbukaan kasta tersebut. Dalam keikutsertaannya dalam politik, orang-orang Hindu cenderung tidak mencampuradukan antara agama dan politik. Akan tetapi dalam keikutsertaannya dalam politik, orang-orang Hindu tersebut tetap berpedoman pada agama yang mereka anut.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ada tiga kemungkinan skenario politik keagamaan.: Pertama, agama dan negara terpisah satu sama lain. Doktrin agama hanya menjadi pedoman hidup manusia sebatas dalam keluarga dan masyarakat yang berwadahkan keorganisasian dalam masjid, gereja, kuil, dan lain-lain. Segala sesuatu yang berurusan dengan agama diselesaikan dalam institusi kegamaan tersebut. Prinsip utamanya adalah “Agama adalah Agama”. Dalam kenyataan, sukar menemukan pada abad global ini suatu institusi agama yang tidak tercemar sama sekali dengan pergumulan duniawi di luar dari agama. Kedua, Agama dan Negara terikat satu sama lain (Integralistik) dalam pengertian agama memberi corak dominan atas negara. Dalam konteks ini agama bermain penuh sebagai instrumen, yakni aktualisasi agama di dalam sebagian besar institusi negara seperti institusi politik, ekonomi, hukum dan lainnya. Ketiga, Agama ditempatkan dalam suatu sistem negara yang mengutamakan harmoni dan keseimbangan. Agama direduksi menjadi salah satu unsure saja dari sistem yang dipandang saling tergantung dengan unsur-unsur lain. Kebijakan kebijakan yang merupakan konkretisasi pendekatan sistemik ini jelas sekali menekankan kontrol yang tegas terhadap unsur-unsurnya, termasuk unsur agama agar selalu terwujud keteraturan yang harmonis tanpa guncangan. Setiap kali ada gejolak sekecil apapun, langsung diredam oleh negara (pemerintah) sehingga keseimbangan tercapai kembali.
Hubungan politik dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tenteram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia, tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan legitimasi adalah bidang politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat dan sumbernya yang transcendent. 
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Thaba. 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani Prees.
Dadang Kahmad. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hendro Puspito. 1990. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Rafael, Raga Maran. 2007. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: PT Rineka Cipta
Smith, Donald Eugene. 1985.  Agama dan Modernisasi Politik. Jakarta: CV Rajawali

diferensiasi agama



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang majemuk, terbukti dari adanya berbagai diferensiasi pada suku, adat, budaya dan agama. Salah satu diferensiasi pada masayrakat Indonesia yang paling kentara ialah agama. Ini dikarenakan agama merupakan institusi paling fundamental dan penting yang mengatur kehidupan manusia itu sendiri. Masing-masing agama memiliki ajaran dari kepercayaanya yang berbeda sehingga cara beribadah dan segala macam atribut keagamaannya pun berbeda.
Di dunia ini terdapat banyak agama, antara lain Islam, Nasrani (terbagi menjadi Katholik dan Protestan), Buddha dan Hindu. Selain itu, terdapat juga agama-agama khusus dan kepercayaan-kepercayaan yang diyakini oleh kelompok masyarakat atau bangsa tertentu, seperti konfusianisme (agama-agama Kong Hu Cu), Taoisme (agama Tao), Judaisme (agama Yahudi), Shintoisme (agamaShinto), dan lain-lain. Namun untuk di Indonesia sendiri hanya terdapat enam agama yang dilegitimasi oleh negara, yakni Islam, Hindu, Buddha, Nasrani/Kristen Katolik dan Protestan serta Kong Hu Cu.
Dewasa ini di berbagai belahan dunia kerap terjadi konflik yang diakibatkan  ketimpangan sosial  dan ketidakadilan ekonomi, yang mana ini terjadi dengan memanfaatkan sentiment kepercayaan/keagamaan. Hal ini jelas dipicu oleh adanya diferensiasi kepercayaan/agama itu sendiri. Di Indonesia sendiri tak jauh berbeda, pada beberapa wilayah atau daerah kerap terjadi konflik yang mengatas namakan kepercayaan/agama. Padahal pemerintah sudah melakukan upaya preventif guna menanggulanginya. Yakni Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1 dengan mengakui enam agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas mengenai diferensiasi agama di Indonesia yang kerap kali menjadi pemicu dari lahirnya konflik sosial dalam masyarakat Indonesia.

B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana korelasi masyarakat dengan agama sebagai kajian dalam studi masyarakat Indonesia?
2.    Bagaimana sejarah perkembangan masuknya agama-agama di Indonesia?
3.    Bagaimana konsep diferensiasi agama sebagai diferensiasi sosial?

C.      Tujuan
1.    Untuk mengetahui korelasi masyarakat dengan agama sebagai kajian dalam studi masyarakat Indonesia
2.    Untuk mengetahui sejarah perkembangan masuknya agama-agama di Indonesia
3.    Untuk mengetahui konsep diferensiasi agama sebagai diferensiasi sosial.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Agama dan Masyarakat
Agama berasal dari bahasa sansakerta untuk menunjuk kepercayaan agama Hindhu dan Budha. Dalam perkembanganya kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia dan dipakai untuk menyebut kepercayaan yang ada di Indonesia secara umum. Secara harafiah agama berarti tidak berantakan atau hidup teratur.
Pengertian Agama menurut ahli sosiologi :
·      Emile Durkheim : agama adalah sistem yang menyatu mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan dengan benda-benda sakral.
·      Marx beranggapan bahwa agama adalah “candu masyarakat” yang mengelabuhi kesadaran manusia. Manusia seharusnya bekerja dan hidup untuk kebutuhan yang dirasakanya saat ini, yakni “kesejahteraan ekonomi”.
·      Geertz beranggapan bahwa agama adalah sistem lambang yang berfungsi menegakkan berbagai perasaan dan motivasi yang kuat, berjangkauan luas dan abadi pada manusia dengan merumuskan berbagai konsep mengenai keteraturan umum ekstistensi secara realistik.
·      Frans Dahler agama merupakan hubungan manusia dengan kekuasaan yang suci dimana kekuasaan yang suci tersebut lebih tinggi dari adanya manusia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai agama sudah ada dalam diri manusia dan nilai-nilai tersebut sangat mempengaruhi nilai hidup manusia sehingga ia memiliki kesadaran bahwa diluar dirinya ada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih suci yaitu adalah agama. Sedangkan Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1983).
Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu (Henri L. Tischler, 1990 : 380). Ini berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Sehingga setiap perilaku yang diperankan manusia akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya atau dengan kata lain perilaku individu atau masyarakat digerakkan oleh kekuatan dari dalam (spiritual) yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang terinternalisasi sebelumnya.
Jika dilihat dari perspektif keseimbangan sistem sosial yang ada di masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa agama merupakan salah satu bentuk legitimasi keseimbangan yang paling efektif. Agama merupakan semesta simbolik yang memberi makna pada kehidupan manusia dan memberikan penjelasan yang paling komprehensif tetang semua realitas di masyarakat. sebagai sistem keyakinan, agama bisa menjadi bagian dan inti dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat dan menjadi pendorong/penggerak serta pengontrol bagi tindakan atau perilaku masayrakat tertentu agar tetap sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya.   
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila : “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pancasila merupakan landasan Negara telah menjadi payung guna melindungi agama-agama yang ada di dalamnya. Pancasila menjadi wadah yang memadai sebagai dasar pijak bersama seluruh anak bangsa dan agama memberi isi pada dimensi ritual. Nilai-nilai yang terinternalisasi dalam ideologi bangsa Indonesia ini menunjukkan pula korelasi agama dan masyarakat Indonesia, bahwa agama mempunyai peranan fundamental dan penting bagi terlaksananya tatanan sosial masyarakat Indonesia.

B.       Sejarah Masuknya Agama-Agama Di Indonesia
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya. Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.
Berdasar sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia.
1.    Buddha
Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad keenam masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah dibangun sekitar periode yang sama. Seperti kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan Mataram. Kedatangan agama Buddha telah dimulai dengan aktivitas perdagangan yang mulai pada awal abad pertama melalui Jalur Sutra antara India dan Indonesia. Sejumlah warisan dapat ditemukan di Indonesia, mencakup candi Borobudur di Magelang dan patung atau prasasti dari sejarah Kerajaan Buddha yang lebih awal. Mengikuti kejatuhan Soekarno pada pertengahan tahun 1960-an, dalam Pancasila ditekankan lagi pengakuan akan satu Tuhan (monoteisme). Sebagai hasilnya, pendiri Perbuddhi (Persatuan Buddha Indonesia), Bhikku Ashin Jinarakkhita, mengusulkan bahwa ada satu dewata tertinggi, Sang Hyang Adi Buddha. Hal ini didukung dengan sejarah di belakang versi Buddha Indonesia pada masa lampau menurut teks Jawa kuno dan bentuk candi Borobudur.
2.      Hindu
Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan Majapahit. Candi Prambanan adalah kuil Hindu yang dibangun semasa kerajaan Majapahit, semasa dinasti Sanjaya. Kerajaan ini hidup hingga abad ke 16 M. Hindu di Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya di dunia. Sebagai contoh, Hindu di Indonesia, secara formal ditunjuk sebagai agama Hindu Dharma, tidak pernah menerapkan sistem kasta. Contoh lain adalah, bahwa Epos keagamaan Hindu Mahabharata (Pertempuran Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan Rama), menjadi tradisi penting para pengikut Hindu di Indonesia, yang dinyatakan dalam bentuk wayang dan pertunjukan tari. Semua praktisi agama Hindu Dharma berbagi kepercayaan dengan banyak orang umum, kebanyakan adalah Lima Filosofi: Panca Srada. Ini meliputi kepercayaan satu Yang Maha Kuasa Tuhan, kepercayaan di dalam jiwa dan semangat, serta karma atau kepercayaan akan hukuman tindakan timbal balik. Dibanding kepercayaan atas siklus kelahiran kembali dan reinkarnasi, Hindu di Indonesia lebih terkait dengan banyak sekali yang berasal dari nenek moyang roh. Sebagai tambahan, agama Hindu disini lebih memusatkan pada seni dan upacara agama dibanding kitab, hukum dan kepercayaan.
3.    Islam
Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-7 melalui pedagang Arab. Islam menyebar sampai pantai barat Sumatera dan kemudian berkembang ke timur pulau Jawa. Pada periode ini terdapat beberapa kerajaan Islam, yaitu kerajaan Demak, Pajang, Mataram dan Banten. Pada akhir abad ke-15 M, 20 kerajaan Islam telah dibentuk, mencerminkan dominasi Islam di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, dengan 85% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam. Mayoritas Muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di Jawa dan Sumatera. Sedangkan di wilayah timur Indonesia, persentase penganutnya tidak sebesar di kawasan barat. Sekitar 98% Muslim di Indonesia adalah penganut aliran Sunni. Sisanya, sekitar dua juta pengikut adalah Syiah (di atas satu persen), berada di Aceh.
4.    Kristen Katolik
Kristen Katolik dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di pulau Flores dan Timor. Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian pertama abad ketujuh. Pada abad ke-16, Portugis dan Spanyol mulai memperluas pengaruhnya di Manado dan kawasan Minahasa, serta mencapai Flores dan Timor. Agama Katolik mulai berkembang di Jawa Tengah ketika Frans van Lith menetap di Muntilan pada 1896 dan menyebarkan iman Katolik kepada rakyat setempat. Di Sumatera Utara kota Barus yang dahulu disebut Pancur dan saat ini terletak di dalam Keuskupan Sibolga di Sumatera Utara adalah tempat kediaman umat Katolik tertua di Indonesia. Di Barus juga telah berdiri sebuah Gereja dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni Maria (Gereja Katolik Indonesia seri 1,diterbitkan oleh KWI)
5.    Kristen Protestan
Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang Belanda, termasuk Maluku, Nusa Tenggara, Papua dan Kalimantan. Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai Borneo, kaum misionarispun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatera juga menjadi target para misionaris ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak, dimana banyak saat ini yang menjadi pemeluk Protestan. Di Indonesia, terdapat tiga provinsi yang mayoritas penduduknya adalah Protestan, yaitu Papua, Ambon,dan Sulawesi Utara dengan 90%,91%,94% dari jumlah penduduk. Di Papua, ajaran Protestan telah dipraktikkan secara baik oleh penduduk asli.Di Ambon, ajaran Protestan mengalami perkembangan yang sangat besar. Di Sulawesi Utara, kaum Minahasa, berpindah agama ke Protestan pada sekitar abad ke-18. Saat ini, kebanyakan dari penduduk asli Sulawesi Utara menjalankan beberapa aliran Protestan. Selain itu, para transmigran dari pulau Jawa dan Madura yang beragama Islam juga mulai berdatangan. Sepuluh persen lebih-kurang; dari jumlah penduduk Indonesia adalah penganut Kristen Protestan.
6.    Khonghucu
Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitikberatkan pada kepercayaan dan praktik yang individual, lepas daripada kode etik melakukannya, bukannya suatu agama masyarakat yang terorganisir dengan baik, atau jalan hidup atau pergerakan sosial.
Pada 1965, Soekarno mengeluarkan sebuah keputusan presiden No. 1/Pn.Ps/1965 1/Pn.Ps/1965, di mana agama resmi di Indonesia menjadi enam, termasuklah Konghucu. Pada awal tahun 1961, Asosiasi Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI), suatu organisasi Konghucu, mengumumkan bahwa aliran Konghucu merupakan suatu agama dan Confucius adalah nabi mereka. Tahun 1967, pada masa Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto, perundang-undangan anti Tiongkok telah diberlakukan demi keuntungan dukungan politik dari orang-orang, terutama setelah kejatuhan PKI, yang diklaim telah didukung oleh Tiongkok. Soeharto mengeluarkan instruksi presiden No. 14/1967, mengenai kultur Tionghoa, peribadatan, perayaan Tionghoa, serta menghimbau orang Tionghoa untuk mengubah nama asli mereka.
Karenanya, status Konghucu di Indonesia pada era Orde Baru tidak pernah jelas. De jure, berlawanan hukum, di lain pihak hukum yang lebih tinggi mengizinkan Konghucu, tetapi hukum yang lebih rendah tidak mengakuinya. De facto, Konghucu tidak diakui oleh pemerintah dan pengikutnya wajib menjadi agama lain (biasanya Kristen atau Buddha) untuk menjaga kewarganegaraan mereka. Praktik ini telah diterapkan di banyak sektor, termasuk dalam kartu tanda penduduk, pendaftaran perkawinan, dan bahkan dalam pendidikan kewarga negaraan di Indonesia yang hanya mengenalkan lima agama resmi.
Setelah reformasi Indonesia tahun 1998, ketika kejatuhan Soeharto, Abdurrahman Wahid dipilih menjadi presiden yang keempat. Wahid mencabut instruksi presiden No. 14/1967 dan keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1978. Agama Konghucu kini secara resmi dianggap sebagai agama di Indonesia. Kultur Tionghoa dan semua yang terkait dengan aktivitas Tionghoa kini diizinkan untuk dipraktekkan. Warga Tionghoa Indonesia dan pemeluk Konghucu kini dibebaskan untuk melaksanakan ajaran dan tradisi mereka.

C.      Diferensiasi Agama sebagai Diferensiasi Sosial
Secara umum diferensiasi sosial diartikan sebagai pembedaan penduduk dalam struktur sosial secara horizontal, yaitu tidak menunjukkan adanya tingkatan lebih tinggi atau lebih rendah. Perbedaan-perbedaan itu antara lain dalam agama, ras, etnis, clan (klen), pekerjaan, budaya, maupun jenis kelamin.
Ada beberapa jenis diferensiasi sosial (cp, North, 1962) :
1.    Diferensiasi tingkatan (rank diferentiation) : muncul karena ketimpangan distribusi sesuatu barang yang dibutuhkan,yang terbatas persediaannya. Perbedaan bedasarkan tingkatan sosial di masyarakat ini memberikan kemajemukan kelas sosial, sehingga kemajemukan tersebut hampir mirip dengan stratifikasi sosial, yaitu kompleksnya struktur sosial masyarakat yang menimbulkan adanya kelas-kelas sosial.
2.    Diferensiasi fungsional (functional diferentiation) atau diferensiasi berdasarkan pembagian kerja, muncul karena orang melaksanakan pekerjaan yang berlainan. Masyarakat pada mulanya melakukan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, tetapi lama-kelamaan berkembang melakukan pembagian kerja berdasarkan keterampilan, keahlian, pendidikan, dll.
3.    Diferensiasi adat (custom diferentiation), muncul karena aturan berperilaku yang berbeda menurut situasi tertentu.
Dengan demikian, menurut Svalastoga (1989 : 18), bahwa diferensiasi sosial diartikan sebagai perbedaan tingkatan yang merupakan salah satu ciri yang universal (berlaku umum) dari organisasi sosial. Tetapi tingkatan diferensiasi sosial berbeda-beda menurut waktu, tempat dan orang. Perbedaan itu terutama tergantung pada dua kondisi : (1) kondisi beban tugas (aktivitas) kelompok, (2) integrasi.
Pada umumnya kelompok yang kurang tingkat aktivitasnya juga rendah tingkat diferensiasinya. Hal yang sama juga berlaku pada kelompok yang sangat terintegrasi sekalipun. Tetapi karena aktivitas atau beban terus akan meningkat atau integrasi menurun, maka diferensiasi cenderung akan meningkat. Hubungan ini cenderung berperan semakin efisien dan akan mengurangi terjadinya konflik terbuka.
Dari pembagian jenis diferensiasi menurut North di atas, dapat dikatakan bahwa diferensiasi agama masuk dalam kategori diferensiasi adat (custom diferentiation). Diferensiasi agama itu sendiri terkonstruk oleh budaya atau adat yang ada pada masyarakatnya. Yakni terlihat dari simbol-simbol keagamaan dan upacara keagamaan pada tiap agama yang berbeda di setiap wilayah atau negara. Karena sejatinya setiap agama yang ada itu memiliki doktrik-doktrin dari kitab sucinya yang memberikan nilai-nilai idealis pembentuk stabilitas tatanan sosial masyarakat.
Doktrin agama memiliki horizon yang luas, doktrin itu menjadi sumber nilai bagi pembentukan kepribadian, ideologi bagi gerakan sosial dan perekat hubungan sosial. Namun sejatinya doktrin agama manapun yang dianut oleh komunitas di manapun di belahan dunia ini mengajarkan kepada pemeluknya untuk menjadi manusia yang baik, manusia yang jujur, manusia yang memiliki kasih sayang, mencintai kedamaian dan membenci kekerasan. Secara substansi ajaran agama memberikan kerangka norma yang tegas bagi tingkah laku umatnya, nyaris sulit ditemukan doktrin-doktrin agama wahyu yang tidak mengajarkan hal-hal yang baik kepada pemeluknya, hanya kebudayaan yang mengemasnya saja yang berbeda. Sebagai contohnya ialah ajaran Sang Buddha yang menebarkan dharma kebenaranya di hadapan 1000 muridnya di sebuah kota kusinegara, mengenai prihal dalam pembabaran dharma kebenaran ajaran Budha. “Sampaikanlah dharma ajaranku yang indah pada awalnya, indah pada tengahnya dan indah pada akhirnya kemanapun engkau pergi dan sesuaikanlah dengan bahasa, adat istiadat dan budaya serta kebiasan di tempat engkau menbabarkan dharma sehinga dharma kebenaranku yang indah pada awalnya, indah pada tengahnya serta indah pada akhirnya dapat diterima kemanapun engkau pergi”.
Kemudian ada Hindu di Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya di dunia. Hindu di Indonesia secara formal ditunjuk sebagai agama Hindu Dharma, tidak pernah menerapkan sistem kasta. Contoh lain adalah, bahwa Epos keagamaan Hindu Mahabharata (Pertempuran Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan Rama), menjadi tradisi penting para pengikut Hindu di Indonesia, yang dinyatakan dalam bentuk wayang dan pertunjukan tari. Aliran Hindu juga telah terbentuk dengan cara yang berbeda di daerah pulau Jawa, yang jadilah lebih dipengaruhi oleh versi Islam mereka sendiri, yang dikenal sebagai Islam Abangan atau Islam Kejawen.[1]
Semua praktisi agama Hindu Dharma berbagi kepercayaan dengan banyak orang umum, kebanyakan adalah Lima Filosofi: Panca Srada.  Ini meliputi kepercayaan satu Yang Maha Kuasa Tuhan, kepercayaan di dalam jiwa dan semangat, serta karma atau kepercayaan akan hukuman tindakan timbal balik. Dibanding kepercayaan atas siklus kelahiran kembali dan reinkarnasi, Hindu di Indonesia lebih terkait dengan banyak sekali yang berasal dari nenek moyang roh. Sebagai tambahan, agama Hindu disini lebih memusatkan pada seni dan upacara agama dibanding kitabhukum dan kepercayaan. Adapun secara sederhana diferensiasi agama di Indonesia bisa digambarkan dengan bagan daftar kepribadian di bawah ini :

Daftar Kepribadian Agama-agama di Indonesia
Agama
Pemimpin Umat
Kitab Suci
Tempat Ibadah
Hari Raya
Pelaksanaan Ibadah
Islam
Kyai
Habib
Syekh
Ulama
Al Qur’an
Masjid/ musholah/ langgar
Idul fitri
Idul Adha
Shalat lima waktu, puasa, zakat, haji, 
Protestan
Pendeta
Al kitab
Gereja
Natal
Wafatnya Yesus Kristus
Kebangkitan dan kenaikan Yesus Kristus
Minggu
Katolik
Romo
Al kitab
Gereja
Natal
Wafatnya Yesus Kristus
Kebangkitan dan kenaikan Yesus Kristus
Sabtu
Minggu
Hindu
Sulinggih
Pedanda
Pandida
Weda
Pura
Nyepi
Rabu
Sabtu 
Buddha
Bhiksu
Pandita
Bhante
Tripitaka
Vihara
Waisak
Minggu, setiap tanggal 1 8 15 dan 23 penanggalan Chandra Sengkala
Khong Hu Cu
Xueshi
Wenshi
Jiaosheng
Sishu
Wujing
Xiaong
Jing
Klenteng
Lithang (Aula Kebajikan)
Imlek
Tanggal 1 dan 15 Yinli/imlek, minggu.

1.    Dampak Diferensiasi Agama
Diferensiasi sosial yang bersifat horizontal yaitu perbedaan dalam kesederajatan/kesetaraan seperti agama yang terdapat di Indonesia secara teoritis Geertz “akan menjadi masyarakat yang terikat oleh ikatan-ikatan yang bersifat primodial. Selanjutnya dengan terkelompokannya masyarakat Indonesia ke dalam unsur agama, ras, suku bangsa dan lain sebagainya akan membentuk menjadi masyarakat majemuk. Menurut Berge (dalam Nasikhun :36) pada masyarakat seperti ini akan memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
1.    Terjadinya segmentasi kedalam bentuk kelompok-kelompok yang sering sub-sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2.    Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi kedalam lembaga yang bersifat non komplementer
3.    Kurang mengembangkan konsesus diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar
4.    Secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik diantara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain
5.    Secara reltif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling ketergantungan dibidang ekonomi
6.    Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok lain.
Tantangan teologis paling besar dalam kehidupan beragama sekarang ini adalah bagaimana seorang beragama bisa mendefinisikan dirinya di tengah-tengah agama lain. Dalam pergaulan antaragama, semakin hari kita semakin merasakan intensnya pertemuan-pertemuan agama meskipun pertemuan itu kurang diisi dengan segi-segi dialogis antar imanya. Sebenarnya hubungan antar tokoh-tokoh agama di Indonesia terlihat baik, akrab dan keterlibatan yang sungguh-sungguh dalam usaha memecahkan persoalan-persoalan yang ada di masyarakat, khususnya menyangkut kemungkinan disintegrasi bangsa akibat konflik-konflik SARA yang berkepanjangan. Tetapi pada tingkat teologis yang merupakan dasar dari Negara itu muncul kebingungan-kebingungan, khususnya menyangkut bagaimana kita harus mendefinisikan diri di tengah-tengah agama lain yang juga eksis dan punya keabsahan.
Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.

2.    Resolusi Dampak Diferensiasi Agama
Saat ini pluralisme yang dipahami dan dipraktekkan oleh sebagian manusia adalah “pluralisme semu” (pseudo pluralism). Di mana pluralisme hanya sebatas dan belum sepenuhnya menjadi entitas yang harus disadari dan diakui sebagai kenyataan sosial dalam masyarakat. Pluralisme semu adalah bentuk pengakuan terhadap keragaman masyarakat (toleransi) yang terdiri dari budaya, suku, dan agama yang berbeda-beda, namun tidak bersedia menyikapi dan menerima suatu keberagaman sebagai kenyataan sejarah (historical necessity) dan kenyatan sosio-kultural (socio-cultural necessity).
Dengan kalimat lain, pluralisme semu merupakan bentuk pengakuan atas perbedaan yang ada, namun penerimaan akan adanya suatu perbedaan belum sepenuhnya nampak dari sebagian sikap sebagian manusia. Sikap mendua atau standar ganda (double standard) dapat berimplikasi pada keretakan hubungan antarumat beragama, yang lambat laun berpotensi melahirkan konflik agama. Semestinya, pluralisme harus dipahami sebagai bentuk kesedian menerima kelompok lain secara sama sebagai suatu kesatuan. Adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup, sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu harus diperlakukan sama oleh negara. Di sinilah konsep pluralisme memberikan kontribusi nyata terhadap agenda demokrasi dan anti-diskriminasi. Perhatian yang besar terhadap persamaan (equality) dan anti-diskriminasi kaum minoritas telah menghubungkan pluralisme dengan demokrasi. Dua kondisi inilah yang diperjuangkan oleh Cak Nur dan Gus Dur.
Pengakuan terhadap agama menunjukkan tindakan yang adil terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain sebagai pemeluk agama yang berbeda dengan yang kita anut. Sikap ini telah semenjak dahulu diajarkan dan tertulis dalam buku Sutasoma karya Mpu Tantular. Dalam buku tersebut tertulis kata-kata “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangra”, yang artinya walaupun berbeda satu jua adanya sebab tidak ada tujuan agama yang berbeda. Oleh karena itu, membina dan mengembangkan sikap hormat-menghormati antar pemeluk agama merupakan kewajiban kita sebagai warga negaraIndonesia.
Jadi, Pluralisme bukan hanya mempresentasikan adanya kemajemukan (suku atau etnik, bahasa, budaya dan agama) dalam masyarakat yang berbeda-beda. Akan tetapi, pluralisme harus memberikan penegasan bahwa dengan segala keperbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik.






BAB II
PENUTUP

Kesimpulan
Jadi bagi suatu Negara dimana masyarakat memiliki keberagaman sosial (majemuk) seperti agama, kelemahannya adalah rentan terjadinya konflik antar kelompok yang terkotak-kotakan oleh unsur-unsur sosial tersebut.


















DAFTAR PUSTAKA
Dadang Kahmad. Sosiologi Agama. 2009. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Mujahid Abdullah Manaf. Sejarah Agama-agama. 2006. Surakarta : UNS Press
Nasikhun, 2009. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : Rajawali press.
Svalstoga, Kaare. Social Direfentiation. 1989. Jakarta : PT. Bina Aksara.


[1] Lidde, R. William (August 1996). "The Islamic Turn in Indonesia: A Political Explanation". Journal of Asian Studies 55 (3): 613-634. doi:10.2307/2646448. (Diakses pada 11 Maret 2013)