Kamis, 22 Desember 2011

KEMISKINAN


KEMISKINAN

Gagalnya pembangunan menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidka mampu menyelesaikan berbagai macam  persoalan di negeri ini. Hal tersebut terbukti dengan berbagai macam kebijakan penanggulangan kemiskinan yang digalakkan oleh pemerintah dalam mengatasi kemiskinan, akan tetapi pemerintah belum mampu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Kebijakan pengentasan kemiskinan yang digalangkan oleh pemerintah seringkali tidak tepat sasaran sehingga tidak bisa benar- benar dinikmati oleh masyarakat miskin.
Menurut Kartasasmita, kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Kemiskinan dapat diartikan sebagai keterbelakangan, ketidak berdayaan, atau ketidakmampuan seseorang untuk menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap layak atau menusiawi.
Secara sosio- ekonomi Baswir dan Sunyoto Usman membagi bentuk kemiskinan menjadi 3 yaitu:
a.       Kemiskinan absolut
Adalah suatu kemiskinan dimana orang –orang miskin memiliki tingkat dibawah garis kemiskinan, atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum.
b.      Kemiskinan relatif
Adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya.
c.       Kemiskinan subjektif
Kemiskinan dalam konsep ini, kemiskinan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri.

PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK)


PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK)

Pekerja Seks Komersial (PSK) atau yang sering disebut dengan WTS (wanita tuna susila) adalah wanita yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan kelamin di luar perkawinan, baik dengan imbalan jasa maupun tidak. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola- pola organisasi impuls atau dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu- nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas) disertai eksploitasi dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi seks. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu- nafsu seks dengan imbalan pembayaran. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki- laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.
Kategori dalam pelacuran antara lain: pergundikan, tante girang, gadis- gadis panggilan, gadis- gadis bar atau B-girl, gadis- gadis juvenile delinguent, gadis- gadis binal, gadis- gadis taxi, penggali emas, hostes, dan promiskuitas. Pelacur atau PSK dapat digolongkan dalam 2 kategori yaotu:
a.       Mereka yang melakukan profesinya dengan sadar dan sukarela berdasarkan motivasi- motivasi tertentu.
b.      Mereka yang melakukan tugas melacur karena ditawan atau dijebak dan dipaksa oleh germo- germo, calo- calo, dan anggota- anggota organisasi gelap penjualan wanita.

Motif- motif yang melatarbelakangi pelacuran beraneka ragam, antara lain:
1.    Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindari diri dari kesulitan hidup, mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek, kurangnya pendidikan dan buta huruf sehingga menghalalkan pelacuran.
2.     Ada nafsu- nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian dan keroyalan seks.
3. Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, ada pertimbangan- pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik.
4.      Rasa ingin tahu pada gadis- gadis puber pada masalah seks.
5.      Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga.
6.      Ajakan dari teman.

Adapun dampak atau akibat yang ditimbulkan dari adanya masalah sosial PSK adalah sebagai berikut:
a.       Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan penyakit kulit.
b.      Merusak sendi- sendi keluarga.
c.   Mendemoralisasi atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan, khususnya anak- anak muda remaja.
d.      Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan- bahan narkotika.
e.       Merusak sendi- sendi moral, susila, hukum dan agama.
f.       Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia.
g.      Bisa mengakibatkan terjadinya disfungsi seksual.



Rabu, 21 Desember 2011

KORUPSI


KORUPSI

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau pun tidak terorganisasi. Walaupun korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, namun korupsi tidak terbatas dalam hal-hal tersebut.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Kondisi yang memicu munculnya tindak korupsi antara lain:
1.   Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
2.      Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
3.    Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
4.      Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
5.      Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
6.      Lemahnya ketertiban hukum.
7.      Lemahnya profesi hukum.
8.      Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
9.      Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
10.  Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
11.    Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".

Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendisendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
  • Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
  • Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
  • Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
  • Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. 
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab.  Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan. Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut : 
  • Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
  • Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
  • para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
  • Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
  • Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
  • Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”. 
  • Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
  • Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur 
  • Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
  • Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Marmosudjono (Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam menanggulangi korupsi, perlu sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor di televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan lagi. Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan korupsi  adalah sebagai berikut :
a. Preventif.
  • Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
  • mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
  • Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
  • Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
  • menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
  • hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
b. Represif.
  • Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
  • Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.