Rabu, 21 Desember 2011

KORUPSI


KORUPSI

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau pun tidak terorganisasi. Walaupun korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, namun korupsi tidak terbatas dalam hal-hal tersebut.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Kondisi yang memicu munculnya tindak korupsi antara lain:
1.   Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
2.      Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
3.    Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
4.      Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
5.      Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
6.      Lemahnya ketertiban hukum.
7.      Lemahnya profesi hukum.
8.      Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
9.      Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
10.  Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
11.    Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".

Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendisendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
  • Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
  • Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
  • Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
  • Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. 
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab.  Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan. Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut : 
  • Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
  • Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
  • para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
  • Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
  • Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
  • Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”. 
  • Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
  • Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur 
  • Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
  • Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Marmosudjono (Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam menanggulangi korupsi, perlu sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor di televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan lagi. Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan korupsi  adalah sebagai berikut :
a. Preventif.
  • Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
  • mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
  • Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
  • Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
  • menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
  • hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
b. Represif.
  • Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
  • Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar