BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Agama
merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia. Manusia beragama bukan hanya
terbatas pada mereka mempercayai adanya Tuhan namun bagi mereka yang
mempercayai adanya kekuatan lain yang tidak terlihat secara kasap mata, dapat
dikatakan sebagai manusia yang beragama. Agama meliputi berbagai bidang
kehidupan manusia seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Mengatur dari
hal sederhana sampai pada hal yang komplek. Agama merupakan patokan manusia
dalam bertindak dalam kehidupannya.
Agama yang mencakup
berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat dapat menjadi dasar dalam suatu
pergerakan yang muncul dalam masyarakat. Perubahan zaman yang semakin hari kian
pesat dengan membawa berbagai dampak pada kehidupan yang mulai menjauh dari
nilai-nilai agama memicu bermunculannya gerakan sosial dengan basis agama untuk
melakukan pembaharuan. Gerakan sosial keagamaan bermunculan untuk menjadi
kontrol sosial masyarakat secara umum atau pemeluk agama tersebut secara
khususnya.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar
belakang di atas, maka kami mengajukan beberapa rumusan masalah yang antara
lain sebagai berikut :
1.
Apa
yang dimaksud dengan gerakan sosial keagamaan?
2.
Apa saja faktor
pembentuk gerakan sosial keagamaan ?
3.
Apa saja gerakan
sosial keagamaan yang ada ?
C.
Tujuan
Dari uraian rumusan
masalah di atas, maka penyusunan makalah ini bertujuan untuk :
1.
Mengetahui
maksud gerakan sosial keagamaan.
2.
Mengetahui
faktor pendorong gerakan sosial keagamaan.
3.
Mengetahui
gerakan sosial keagamaan yang ada.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Gerakan Sosial Keagamaan
Konsep gerakan sosial perlu dibedakan dengan konsep gerak
sosial. Gerak sosial lebih dimaknai sebagai proses mobilitas sosial (social
mobility), dimana terjadi proses perpindahan seorang individu dari status yang
satu ke status yang lain, baik pada derajat yang sama (mobilitas horizontal)
maupun pada derajat yang berbeda (mobilitas vertikal). Sedangkan menurut
Sunarto, gerakan sosial pada hakikatnya merupakan hasil perilaku kolektif,
yaitu sebuah perilaku yang dilakukan bersama-sama oleh sejumlah orang yang
tidak bersifat rutin dan perilaku mereka merupakan hasil tanggapan atau respons
terhadap rangsangan tertentu. (dalam Nanang Martono, 2012).
Gerakan sosial adalah hasil perilaku kolektif yaitu yang
dilakukan bersama-sama oleh sejumlah orang yang tidak bersifat rutin dan
perilaku mereka merupakan hasil tanggapan atau respon terhadap adanya
rangsangan tertentu. Namun gerakan sosial berbeda dari perilaku kolektif karena
gerakan sosial sifatnya lebih terorganisir dan lebih memiliki tujuan dan
kepentingan bersama dibanding perilaku kolektif. Perilaku kolektif dapat terjadi secara spontan, namun
gerakan sosial memerlukan sebuah proses pengorganisasian massa. Giddens (dalam
Nanang Martono, 2012) menjelaskan konsep gerakan sosial sebagai suatu upaya
kolektif untuk mengejar konsep suatu kepentingan bersama, atau gerakan yang
bertujuan untuk mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif di luar
lingkup lembaga-lembaga yang sudah ada.
Gerakan sosial
lazim dikonsepsikan sebagai kegiatan kolektif yang dilakukan kelompok tertentu
untuk menciptakan kondisi sesuai dengan cita-cita kelompok tersebut. Bagi
mereka, kehidupan masyarakat seperti yang ada pada saat ini dirasakan semakin
tidak mampu menciptakan kesejahteraan, karena itu perlu diganti dengan tatanan
sosial baru yang lebih baik. Tatanan sosial baru tersebut harus bersumber pada salah
satunya adalah nilai-nilai keagamaan. Berdasarkan pemaparan di atas dapat
diambil garis besar bahwa gerakan sosial keagamaan merupakan hasil perilaku
kolektif yang dilakukan oleh sejumlah orang dengan mengatasnamakan nilai dan
ajaran keagamaan yang bersifat rutin dan merupakan tanggapan terhadap adanya
rangsangan yang berkaitan dengan kesadaran keagamaan.
B. Faktor
Terbentuknya
Gerakan Sosial Keagamaan
Munculnya gerakan-gerakan
sosial keagamaan diberbagai negara tidak serta merta muncul dengan sendirinya,
melainkan disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang melatar belakanginya.
Secara umum dan teoritis faktor terbentuknya gerakan sosial keagamaan tersebut
antara lain sebagai berikut :
1. Ketegangan
struktural dan politik
Pendekatan awal terhadap studi gerakan sosial bersumber
dari ulasan-ulasan psikologi sosial fungsional tentang perilaku massa. Titik
tolak analisis tersebut ialah asumsi bahwa keseimbangan sistem merupakan suatu
kondisi sosial yang natural dan stabil. Dari perspektif ini, masyarakat secara
organis menghasilkan infrastruktur kelembagaan yang mengatur keseimbangan diantara
input dan output dalam sistem politik. Tuntutan-tuntutan sosial
diakomodasi oleh lembaga-lembaga yang responsif, mampu menyalurkan dan
menangani begitu banyak kepentingan untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang
optimal. Kebijakan-kebijakan ini nantinya akan berfungsi untuk meredakan
berbagai tuntutan dan memelihara keseimbangan sistem tersebut. Bagi kaum
fungsionalis, ketidakseimbangan sistem bersumber dari ketegangan-ketegangan
struktural eksogen yang menghasilkan ketidakpuasan baru dan mengikis efisiensi
lembaga-lembaga, menghasilkan disfungsi-disfungsi berupa patologis yang dapat
mengakibatkan ketidakstabilan politik. Jika kemampuan kelembagaan tidak dapat
mengakomodasi tuntutan-tuntutan baru masyarakat, maka akan mengakibatkan
munculnya ketegangan sosial dan kekacauan politik (Huntington, 1968).
Model teori gerakan sosial klasik tersebut mengandaikan
suatu hubungan kausal yang linear dimana ketegangan-ketegangan struktural
mengakibatkna ketidanyamanan psikologis yang pada gilirannya nanti akan
menghasilkan tindakan kolektif. Beranekaragam ketegangan seperti
industrialisasi, modernisasi atau krisis ekonomi jelas akan mengganggu
kehidupan sosial dan rutinitas umum dan dengan demikian pula akan menimbulkan
ambiguitas normatif dan sosial tentang bagaimana menanggapi kondisi yang
berubah. Teori tentang massa menyatakan bahwa terkikisnya kelompok perantara
masyarakat dan politik mengakibatkan munculnya perasaan anomi, keputusasaan dan
kecemasan sosial yang semakin besar. Perasaan keterasingan dan ketidakmampuan
berhadapan dengan perubahan sosial dipercaya mendorong individu-individu untuk
bergabung dengan gerakan-gerakan sosial. Gerakan sosial tersebut dengan
demikian dilihat sebagai mekanisme pelarian diri, yang mana melaluinya
individu-individu mendapatkan kembali perasaan bersatu dan berdaya. Meskipun
terdapat berbagai macam varian dan teori gerakan sosial awal, namun semuanya
memiliki pemahaman yang sama tentang gerakan sosial sebagai mekanisme-mekanisme
untuk mengatasi ketidaknyamanan psikologis yang diakibatkan oleh
ketegangan-ketegangan struktural dan politik.
Beberapa ahli menjabarkan lebih jauh argumennya tentang
ketegangan tersebut dan menegaskan bahwa bentuk tepat aktivisme keagamaan
secara langsung berkaitana dengan intensitas krisis tersebut. dekmejian
mewakili perspektif ini dengan menyatakan bahwa “lingkup dan intensitas reaksi
fundamentalis yang berkisar dari kebangkitan spiritual hingga kekerasan
revolusioner bergantung pada seberapa mendalam dan luasnya lingkungan krisis”
(1995 : 6). Ketegangan yang semakin meningkat dianggap sebagai sebabmunculnya
tanggapan yang semakin kuat, dimana individu-individu berusaha untuk
menjangkarkan diri mereka kembali atau mengatasi ketidakpuasan melalui agama
(Esposito, 1992 : 12-17).
2.
Sumber Daya dan Struktur Mobilisasi
Teori Mobilisasi Sumber Daya (TMSD) mencul sebagai
tanggapan terhadap berbagai kelemahan dari pendekatan gerakan sosial model
sosial-psikologis fungsionalisme di atas, yang mana TMSD melihat
gerakan-gerakan sebagai sesuatu yang rasional, suatu manifestasi tindakan
kolektif yang terorganisir. TMSD sebagai sebuah pendekatan menegaskan bahwa
sementara ketidakpuasan tersebar luas namun gerakan tidak ada. Akibtaknya ada variabel-variabel
perantara yang menerjemahkan tiap-tiap ketidakpuasan menjadi suatu pernyatan
yang terorganisasi. Bagi TMSD, sumber daya dan struktur-struktur mobilisasi
seperti organisasi gerakan sosial yang formal diperlukan untuk menciptakan
ketidakpuasan kolektif, yang tanpa itu kepuasan akan tetap merupakan
ketidakpuasan individual. Gerakan sosial tidak dilihat sebagai ledakan tidak
rasional yang ditujukan untuk meringankan ketegangan psikologis, tetapi lebih
sebagai suatu pernyataan yang terorganisasi dan terstruktur melalui
mekanisme-mekanisme mobilisasi yang memberikan sumber-sumber daya strategis
bagi tindakan kolektif yan berlanjut.
TMSD yang berakar dari masyarakat-masyarakat barat
menekankan dimensi rasional dan strategis dari gerakan-gerakan sosial dalam
masyarakat-masyarakt demokratis liberal (Obershal : 1973). Gerakan sosial
membentuk wadah bagi mobilisasi, mekanisme komunikasi dan staf-staf profesional
melalui sebuah proses birokratisasi dan diferensiasi kelembagaan yang didesain
untuk mengkoordinasi dan mengorganisasikan dampak serta pengaruhnya. Pentingnya
sumber daya organisasi dapat penyusun contohkan masjid misalnya, merupakan
lembaga utama keagamaan bagi masyarakat muslim dan seringkali dimanfaatkan sebagai
suatu struktur mobilasasi religio-spasial oleh berbagai kelompok Islam. Dalam
struktur fisik masjid, kalangan Islami menyelenggarkan khutbah dan
kelompok-kelompok studi untuk menyebarkan pesan gerakan tersebut,
mengorganisasi tindakan kolektif dan merekrut anggoota baru. Masjid juga menawarkan
jaringan organik dan nasional yang menghubungkan komunitas aktivis diberbagai
tempat. Meskipun peran masjid sebagai “ruang bebas” telah merosot pada
akhir-akhir ini karena rezim-rezim memperluas kontrol negara atas
lembaga-lembaga publik, namun dalam hal ini mobilisasi juga analog dengan
penggunaan gereja oelh gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat (Mc Adam :
1982).
Selain itu, LSM-LSM dan gerakan filantropi juga merupakan
salah satu gerakan yang memanifestasikan tindakan kolektif yang terorganisir,
dimana juga merupakan kumpulan organisasi tingkat menengah lain yang umum
digunakan masyarakat (Sullivan : 1994). LSM-LSM keagamaan yang membuat struktur
fisik seperti klinik medis,rumah sakit, yayasan derma, pusat budaya dan
sekolahan-sekolahan menyediakan barang dan jasa dasar untuk menjawab persoalan
sehari-hari masyarakat pemeluknya. Dalam konteks organisasi ini, aktivitas
keagamaan tidak hanya memberikan layanan-layan sosial yang diperlukan (sering
kali di wilayah-wilayah dimana program-program negara tidak berlangsung
efektif), melainkan juga memanfaatkan interaksi sosial dengan
komunitas-komunitas lokal untuk menyebarluaskan pesan dan merekrut anggota. Organisasi-organisasi
yang berakar dalam aktivitas-aktivitas pembangunan sosio-ekonomi ini
menggambarkan suatu wajah publik yang bersahabat dan mendukung peran agama
tanpa secara langsung menentang rezim meskipun aktivitas-aktivitas tersebut
mungkin memperlihatkan ketidakmampuan negara untuk menangani secara efektif
persoalan sosio-ekonomi (Sullivan :1994).
3.
Kesempatan dan Hambatan Dinamika Sosial
Gerakan-gerakan sosial tidak beroperasi dalam ruang
hampa. Mereka adalah bagian dari suatu lingkungan dan konteks sosial yang lebih
luas, yang dicirikan oleh berbagai konfigurasi keleluasaan dan hambatan yang
berubah-ubah sacara cair yang menstrukturkan dinamika gerakan. Terlepas dari
tingkat ketidakpuasan, ketersediaan sumber daya atau kelaziman struktur
mobilisasi, para aktor kolektif dalam gerakan sosial dibatasi dan diberdayakan
oleh faktor-faktor eksogen yang sering kali membatasi kemungkinan gerakan dan
daftar taktik, tindakan serta pilihan. Faktor eksogen yang terpenting tersebut
menrut para ahli ialah pembukaan dan penutupan ruang politik dan lokasi
kelembagaan dan substantifnya (Gamson dan Meyer, 1996 : 277).
Kendati pendekatan ini memusatkan perhatiaannya pada
faktor-faktor struktural, namun ia memiliki asumsi yang serupa dengan TMSD.
Yakni kesamaan asumsi dasar bahwa perseteruan gerakan sosial berasal dari
aktor-aktor rasional. Meskipun analisa strukturalis gerakan sosial terutama
memusatkan perhatian pada cara-cara dimana kondisi-kondisi struktural
mempengaruhi dinamika gerkan sosial, terdapat asumsi bahwa ketika para aktor
menyadari terdapatnya kesempatan dan ancaman, maka secara rasional akan
memberikan tanggapan untuk memaksimalkan berbagai keterbukaan untuk mengatasi
kesulitan (Berijikian, 1992). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa gerakan sosial keagamaan dibentuk olah
aktor-aktor atau aktivis-aktivis sebagai pemikir strategis yang dipengaruhi
oleh kesempatan dan hambatan dinamika sosial yang ada disekitarnya.
4.
Ideasional dan Proses Pembingkaian (Framing)
Sejak tahun 1980-an para teoritisi gerakan sosial tertrik
pada peran faktor-faktor ideasional, antara lain interaksi sosial, makna/identitas
dan budaya. Selain dimensi strategis dan strukturalis dari mobilisasi yang
digambarkan dalam Teori Mobilisasi Sumber Daya (TMSD) dan model proses politik,
teori gerakan sosial semakin kuat mengkaji tentnag bagaimana individu dapat
mengkonseptualisasi diri merka sendiri sebagai kolektifitas : bagaimana para
calon peserta/aktor gerakan sosial diyakinkan untuk berpartisipasi dan
cara-cara dimana makna diproduksi, diartikulasikan dan disebarkan oleh
aktor-aktor gerakan sosial melalui proses interaktif. Dalam perkembangannya
sebuah pendekatan teoritis terhadap gerakan-gerakan sosial, minat ini umumnya
mewujudkan dirinya melalui studi tentang pembingkaian (framing).
Bingkai (frame) merupakan skema-skema yang
memberikan sebuah bahasa dan sarana kognitif untuk memahami
pengalaman-pengalaman dan peristiwa di dunia luar. Bagi gerakan sosial,
skema-skema ini penting untuk menghasilkan dan menyebarkan
penafsiran-penafsiran gerakan dan dirancang untuk memobilisasi para aktor serta
merangsang tindakan kolektif. Istilah “pembingkaian” (framing) digunakan
untuk menggambarkan proses pembentukan makna (Snow : 1986)
C.
Contoh Gerakan Sosial
Keagamaan
Beberapa
contoh gerakan sosial yang ada antara lain :
1. Renaissance dan Reformasi Gereja
Renaissance berasal dari bahasa Perancis, renaitre
yang berarti kelahiran kembali. Maksudnya adalah kelahiran kembali budaya
klasik Yunani dan Romawi setelah sekitar sepuluh abad kedua budaya tersebut
“tenggelam” dalam dominasi gereja. Pada masa tersebut, dapat dikatakan peran
gereja dominan dan paling menentukan dalam kehidupan masyarakat Eropa pada
umumnya. Pada masa abad tengah (sebelum abad 15) budaya Yunani dan Romawi yang
dianggap kurang sejalan dengan gereja, akan memperoleh label kafir. Pada abad
ini, dikenal dengan dark ages dimana dominasi gereja yang menekankan idealism
pada kesatuan, hierarki, serta keserasian.
Reformasi merupakan salah satu kelanjutan dari
perkembangan gerakan renaissance. Sebagai suatu gerakan, reformasi telah
berhasil memecah belah Eropa terutama dalam hal agama. Kesatuan masyarakat
nasrani Barat telah lenyap dan digantikan dengan lahirnya berbagai gerakan
pembaharuan nasrani yang masing-masing cenderung menggangap kelompok sendiri
benar dan yang lain salah.
Reformasi gereja menurut McDonald
dalam Western Political Theory adalah sebagai perubahan simbol-simbol banyak
kekuatan dan fungsi gereja pada abad pertengahan menuju tatanan kehidupan
masyarakat sekuler. Sehingga reformasi gereja merupakan sebuah upaya perbaikan
tatanan kehidupan yang didominasi oleh otokrasi gereja yang menyimpang.
Reformasi gereja adalah sebuah upaya perbaikan dan kembali pada ajaran gereja
yang lurus, gerakan reformasi berupa sikap kritis terhadap
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pihak Gereja Katholik pada waktu
itu terutama adanya penjualan surat pengampunan dosa (disebut surat aflat).
Surat pengampunan itu dijual kepada mereka yang tidak dapat ikut dalam perang
salib antara abad 11-13. Kebiasaan penjualan surat pengampunan dosa kemudian
dilakukan untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan gereja, maupun rumah sakit.
Faktor lain dari munculnya reformasi gereja adalah keinginan untuk membebaskan
diri dari kepemimpinan Paus terhadap kehidupan beragama di negara-negara Eropa.
Gerakan Reformasi gereja bermula
dari Kemelut di Gereja Barat dan Kekaisaran Romawi Suci memuncak dengan
Kepausan Avignon (1308 - 1378), dan skisma kepausan (1378-1416), hal ini
membangkitkan peperangan antara para pangeran, pemberontakan di antara petani,
dan keprihatinan yang meluas terhadap rusaknya sistem kebiaraan dan gereja
katolik. Gerakan reformasi adalah suatu nasionalisme baru juga menantang dunia
abad pertengahan dan meluas secara internasionalis. Salah satu perspektif yang
paling menghancurkan dan radikal sendi-sendi gereja pada waktu itu. Gerakan ini
pertama-tama muncul dari John Wyclif 1320-1384 di Universitas Oxford,
kemudian dari John Huss 1369-1415 di Universitas Praha, dan Desiderus
Erasmus (1466-1536), dan Thomas More (1478-1575).
Gereja Katolik Roma secara resmi menyimpulkan
perdebatan ini di Konsili Konstanz (1414-1418). Konklaf mengutuk John Huss yang
dihukum mati, padahal ia datang dengan jaminan keamanan. Sementara Wyclif
secara anumerta dihukum bakar sebagai seorang penyesat. Konstans mengukuhkan
dan memperkuat konsepsi abad pertengahan yang tradisional tentang gereja dan
kekaisaran. Konsili ini tidak membahas ketegangan nasional, ataupun ketegangan
teologis yang muncul pada abad sebelumnya. Konsili tidak dapat mencegah skisma
dan Perang Huss di Bohemia.
Gerakan ini kemudian berkembang
dengan berbagai tokohnya melahirkan banyak pemikiran baru tentang bagaimana
masyarakat seharusnya ditata. Hal inilah yang mengakibatkan tercetusnya
Reformasi Protestan. Setelah runtuhnya lembaga-lembaga biara dan skolastisisme
di Eropa pada akhir abad pertengahan, yang diperparah oleh Pembuangan ke Babel
dari Kepausan Avignon, Skisma Besar, dan kegagalan pembaruan oleh Gerakan
Konsiliar, pada abad ke-16 mulai matang perdebatan budaya yang besar mengenai
pembaruan keagamaan dan kemudian juga nilai-nilai keagamaan yang dasariah. Para
ahli sejarah pada umumnya mengasumsikan bahwa kegagalan untuk mereformasi
(terlalu banyak kepentingan pribadi, kurangnya koordinasi di kalangan koalisi
pembarua), akhirnya menyebabkan gejolak yang lebih besar atau bahkan revolusi,
karena sistemnya akhirnya harus disesuaikan atau runtuh, dan kegagalan Gerakan
Konsiliar melahirkan Reformasi Protestan di Eropa bagian barat. Gerakan-gerakan
reformis yang frustrasi ini merentang dari nominalisme, ibadah modern, hingga
humanisme yang terjadi berbarengan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi, politik
dan demografi yang ikut menyebabkan ketidakpuasan yang kian meningkat terhadap
kekayaan dan kekuasaan kaum agamawan elit, membuat masyarakat semakin peka
terhadap kehancuran finansial dan moral dari gereja Renaisans yang sekular.
Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh wabah pes mendorong penataan ulang secara
radikal ekonomi dan akhirnya juga masyarakat Eropa. Namun demikian, di kalangan
pusat-pusat kota yang bermunculan, bencana yang terjadi pada abad ke-14 dan
awal abad ke-15, dan kekurangan tenaga kerja yang ditimbulkannya, merupakan
dorongan kuat bagi diversifikasi ekonomi dan inovasi teknologi.
Selanjutnya reformasi Gereja
berkembang dan memunculkan tokoh-tokoh reformer yaitu Martin Luther
(1483-1546), Johannes calvin (1509-1564), dan Bodin (1530-1596). Pada tahun
1517 Martin Luther mengemukakan pokok-pokok pikiran sebagai kritikan terhadap
Gereja meliputi 95 dalil yang kemudian ditempel di pintu gereja Wittenberg. Pendapatnya
antara lain: Amal baik yang tidak keluar dari hati yang murni tidak akan
diterima Tuhan. Hanya orang yang percaya kepada Yesus Kristuslah yang dapat
diterimaTuhan. Tiap orang dapat langsung berhubungan dengan Tuhan tanpa
perantara Gereja. Tiap orang yang menyesali kesalahannya akan terlepas dari
hukuman sehingga tidak diperlukan adanya surat pengampunan dosa. Gereja
meerupakan perkumpulan orang percaya dan Yesuslah Kepalanya sehingga kedudukan
Paus selaku pimpinan agama tidak dapat diterimanya.
Selain mengutamakan ajaran di
atas, pada masa pembuangannya Martin Luther juga menterjemahkan Kitab Injil
dari bahasa Latin ke bahasa Jerman sehingga banyak orang dapat memahami isi
kitab suci. Reformasi Gereja juga berkembang ke negara-negera lain di Eropa
misalnya tokoh Jean Calvin dari Prancis (1509-1564) yang ajarannya disebut
Calvinisme banyak pengikutnya di Belanda, Inggris dan Scotlandia. Tokoh Ulrich
Zwingli (1484-1531) dari Swiss serta munculnya Gereja Anglica di Inggris
dipelopori oleh raja Henry VIII Tudor (1509-1547).
Reformasi ini berakhir dengan
pembagian dan pendirian institusi-institusi baru, di antaranya Gereja Lutheran,
Gereja-gereja Reformasi, dan Anabaptis. Gerakan ini juga menimbulkan Reformasi
Katolik di dalam Gereja Katolik Roma. Rancangan teologis dan latar belakangnya
disusun pada Konsili Trente (1548-1563), ketika Roma memukul balik
gagasan-gagasan fundamental yang dibela oleh para Reformator, seperti Luther.
2.
Budhisme
Budhisme adalah sebuah agama yang muncul di india,
sesudah brahmanisme, pada abad kelima sebelum masehi. Pada mulanya agama ini
cenderung memperhatikan manusia, disamping kepada pembersihan dan kehalusan
jiwa, hidup sederhana, cinta kasih, toleransi dan perbuatan baik. Akan tetapi
tidak lama kemudian, setelah pendirinya meninggal, agama ini berubah menjadi
kepercayan bathil yang penuh dengan nilai- nilai berhalaisme. Bahkan para
pengikutnya sangat mengkultuskan pendirinya sampai ke tingkat menuhankannya.
Budhisme didirikan oleh Sidharta Gautama (560- 480
SM) yang bergelar Budha, orang yang berpengetahuan luas. Selain itu ia digelari
‘Sakiya Muni’ yang bersemedi. Sidharta Gautama dibesarkan di sebuah kampung di
perbatasan Nepal. Ia adalah seorang Pangeran yang hidup dalam kemewahan.
Menikah pada usia 19 tahun. Kemudian pada umur 26 tahun ia pergi meninggalkan
istrinya, bertapa meninggalkan segala kenikmatan duniawi. Selanjutnya ia
menjalani kehidupan yang sangat sederhana, merenungi alam, melatih jiwa dan bercita-
cita ingin menyelamatkan manusia dari penderitaan yang bersumber dari hawa
nafsu. Kemudian ia menyeru manusia agar mengikuti arah pemikirannya. Akhirnya
ia mendapat banyak pengikut.
Pemeluk budha percaya bahwa Budha adalah anak tuhan,
penyelamat manusia dari segala tragedy dan penderitaan. Dialah yang menanggung
segala kesalahan manusia. Mereka juga berkeyakinan bahwa penjelman budha
terjadi melalui proses persenyawaan antara ruh suci dengan perawan ‘maya’.
Mereka mengatakan, kelahiran budha ditandai dengan munculnya sebuah bintang di
langit yang disebut bintang budha. Penganut budha bersembahyang menyembah
budha. Mereka berkeyakinan bahwa budha dapat memasukkan ke nirwana. Sembahyang
menurut mereka harus dilaksanakan dalam upacara pertemuan yang dihadiri oleh
orang- orang budha yang banyak.
Kaum budha terpecah menjadi dua golongan, budha yang
taat beragama dan budha awam. Budha taat ialah orang budha yang menjalankan
seluruh ajaran budha dan wasiat- wasiatnya. Sedangkan budha awam ialah orang
budha yang menerapkan sebagian ajaran dan wasiat- wasiatnya. Budhisme mempunyai
dua aliran, aliran utara dan aliran selatan. Aliran utara ialah pengikut budha
sampai menuhankannya. Sedangkan aliran selatan ialah pengikut budha yang agak
wajar dalam memandang budha. Kitab- kitab budha utara banyak mengandung
khurafat dan mithologi yang terkait dengan pribadi budha. Sedangkan kitab-
kitab budha selatan kekhurafatannya relative lebih sedikit dibandingkan dengan
kitab budha utara.
Agama budha tersebar luas di Negara- Negara asia.
Seperti tersebut di muka, agama ini mempunyai dua aliran yaitu :
a. Aliran
utara yang kitab- kitab sucinya ditulis dalam bahasa sansekerta. Aliran ini
berkembang di cina, jepang, Nepal dan sumatera (pada masa kerajaan sriwijaya).
b. Aliran
selatan yang kitab- kitab sucinya ditulis dalam bahasa pali, tersebar di Birma,
Sailan dan Siam.
3.
Hinduisme
Hinduisme adalah sebuah agama berhala yang dipeluk
oleh sebagian besar penduduk ndia. Agama ini telah terbentuk dari perjalanan
sejarahnya yang panjang sejak abad 15 SM. Agama ini mencakup nilai- nilai
rohani dan moral, disamping prinsip- prinsip perundang- undangan dan peraturan,
dengan menjadikan banyak tuhan sesuai
dengan tugas dan pekerjaannya. Oleh sebab itu setiap kawasan mempunyai tuhan
dan setiap pekerjaan atau fenomena mempunyai tuhan pula.
Agama hindu tidak mempunyai seseorang pendiri yang
jelas. Begitu pula sebagian besar kitab- kitabnya juga tidak mempunyai
pengarang yang jelas. Agama ini terbentuk, dan begitu pula buku- bukunya lewat
perjalanan sejarah yang panjang. Bangsa Aria si penggemar perang yang datang ke
india pada abad ke 15 SM, adalah para pendiri pertama agama ini. Agama
pendatang baru ini tidak menghapuskan agama purba orang- orang india, tetapi
justru berakulturasi dan masing- masing saling isi mengisi antara satu dengan
lainnya. Pada abad 18 SM agama hindu berkembang pesat dibawah kepemimpinan
brahmana yang menganggap bahwa di dalam tabiat mereka terdapat unsure
ketuhanan. Kemudian berkembang kembali pada abad ke 3 SM.
Hinduisme menolak gerakan reformasi intern yang
tercermin dalam budhisme dan jinisme dan juga menolak gerakan reformasi ekstern
yang tercermin dalam islam. Justru hinduisme menyerang bentuk kedua reformasi
tersebut dengan memelihara secara ketat ajaran dan keyakinan- keyakinannya.
Pada abad ke 15 SM india didiami penduduk yang berasal dari Sudan yang
mempunyai pemikiran dan keyakinan- keyakinan yang primitive. Datanglah bangsa
Aria si penggemar perang yang dalam perjalanannya telah melewati daerah orang-
orang iran. Maka keyakinan- keyakinan mereka terpengaruh oleh keyakinan
masyarakat dari Negara- Negara yang mereka lalui. Ketika mereka menetap di
india itulah terjadi akulturasi antara berbagai keyakinan- keyakinan itu yang
kemudian melahirkan Hinduisme. Yaitu sebuah agama yang mengadung pemikiran-
pemikiran primitive tentang penyembahan alam, nenek moyang dan khususnya sapi.
Pada abad ke 8 SM kondisi hinduisme mengalami peningkatan ketika madzhab brahma
dibuat, dan mereka menetapkan tentang penyembahan terhadap brahma.
Agama hindu telah diguncang oleh dua topan
pergerakan yang sangat dahsyat yaitu jinisme dan budhisme. Lahirnya perundang-
undangan (minu) membuat agama itu menjadi kuat kembali. Peristiwa itu terjadi
pada abad ke 2 dan 3 SM.
Agama hindu pernah berkuasa di benua india dan
tersebat di Negara itu dalam beraneka ragam titik tekan. Akan tetapi perbedaan
yang amat jauh antara uat islam dengan umat hindu dalam memandang alam,
kehidupan dan sapi (yang disembah oleh orang- orang hindu tapi disembelih oleh
umat islam serta dimakan dagingnya) itu semua telah menyebabkan terjadinya
perpecahan dan pembagian Negara, dimana telah dipermaklumkan berdirinya Negara
Pakistan yang mendapatkan bagian timur dan baratnya, karena sebagian besar
penduduknya adalah islam. Dan sisanya adalah Negara india yang sebagian besar
penduduknya adalah hindu. Keberadaan umat islam di negeri india menjadi
minoritas.
4.
Filantropi Islam
Filantropi yang berarti kedermawanan, kini dimaknai
secara lebih fleksibel dan beragam dalam masyarakat. Di Negara- Negara yang
berpenduduk muslim, konsep filantropi islam juga diadopsi dan diartikulasikan
dalam pelbagai bentuk ekspresi social dan ekonomi, baik yang bersifat
individual maupun kolektif. Doktrin- doktrin keagamaan dalam ajaran islam
tentang kewajiban memberikan pertolongan dan bantuan bagi kalangan fakir dan
miskin dengan cara menyerahkan sebagian harta yang dimiliki orang-orang kaya
telah memberikan inspirasi sebagian kalangan masyarakat untuk melembagakan
kegiatan filantropi ini. Para ulama dan aktivis social pun berperan penting
dalam mengkonstruksi dan mengembangkan wacana dan aksi filantropi. Kesadaran
bahwa aksi kedermawanan individual tidak lagi cukup untuk melakukan perubahan
kolektif semakin tumbuh. Kini muncul banyak organisasi-organisasi social keagamaan
yang mencoba memobilisasi dan mentransformasikan kesadaran individual tersebut
untuk menajdi kesadaran kolektif dan selanjutnya menjadi gerakan kolektif.
Kesadaran kolektif dalam gerakan finaltropi islam
telah melalui proses evolusi yang cukup panjang dan dinamis. Hal ini terbukti
dengan munculnya actor penggiat filantropi islam dengan latar belakang dan
fungsi keorganisasian yang berbeda- beda baik itu adalah organisasi masyarakat
sipil berbasis komunitas (yayasan social keagamaan), organisasi yang
berorientasi profit (perusahaan- perusahaan), dan organisasi Negara (aparatur
pemerintahan). Evolusi kelembagaan filantropi mulai terlihat di Indonesia, setidaknya sejak akhir 1960 dan 1970-an, ketika keterlibatan pemerintah
baik dalam konteks regional maupun nasional, dalam mengatur regulasi
pengelolaan dana- dana masyarakat yang berasal dari zakat semakin kasat mata.
Meski belum sepenuhnya berjalan secara efektif, pada akhir tahun 1960-an sampai
1970 an beberapa kebijakan pemerintah tentang kegiatan filantropi islam di
Indonesia sudah muncul melalui tangan kementrian agama maupun pemerintah
daerah.
Perbedaan
perspektif atau kacamata yang digunakan untuk membaca dan memaknai filantropi
islam setidaknya memiliki konsekuensi pada gerakan filantropi itu sendiri baik
dilihat pada aspek hokum islam (fiqh), hokum- hokum positif yang terkait dengan
zakat maupun pada aspek kelembagaan. Jatuhnya rejim politik
Soeharto pada akhir tahun 1990-an menjadi penanda munculnya babak baru gerakan
filantropi islam di Indonesia, baik dalam konteks social ekonomi, hokum maupun
politik. Setelah krisis moneter yang tejadi pada akhir tahun 1990-an beberapa
lembaga keagamaan islam yang sebelumnya agak abai terhadap potensi dan fungsi
filantropi islam mulai melirik aspek filantropi islam sebagai salah satu alat
guna menggalang dana- dana masyarakat untuk kemudian didayagunakan bagi
kalangan masyarakat kurang mampu dengan pelbagai kepentingan.
Evolusi aspek legal- formal filantropi islam di
Indonesia ditandai diantaranya oleh lahirnya Undang- undang Zakat (UU Zakat) No 23 tahun 2011. DPR RI
mengesahkan UU Zakat tahun 2011 sebagai hasil revisi terhadap UU pengelolaan
zakat tahun 1999. Disahkannya UU zakat 2011 dipersepsikan secara berbeda oleh para
pegiat filantropi islam. UU zakat 2011 dianggap membawa angin segar bagi
sebagian kalangan, terutama pemerintah dan lembaga- lembaga yang berafiliasi
atau disponsori oleh pemerintah seperti BAZNAS (badan amil zakat nasional) dan
BAZDA (badan amil zakat daerah). Dengan legitimasi UU tersebut BAZNAS dan BAZDA
memiliki dua fungsi sekaligus: fungsi control dan fungsi operator. Dengan
fungsi control yang dimiliki BAZNAS dan BAZDA dapat melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan pengelolaan dana zakat yang dilakukan oleh LAZ (lembaga amil zakat, sebuah istilah yang
digunakan untuk menyebut lembaga amil yang didirikan organisasi
masyarakat/ormas). Selain melakukan pengawasan, juga berfungsi sebagai operator
yaitu menjadi pengelola langsung dana- dana masyarakat.
Menjamurnya lembaga
filantropi islam yang mengelola zakat, sedekah dan wakaf dalam sepuluh tahun
terakhir mengindikasikan tingginya antusiasme masyarakat dalam merevitalisasi
tradisi filantropi islam. Antusiasme tersebut dapat dilihat
dalam tiga aspek yaitu transformasi kelembagaan, dinamika pendistribusian dana
filantropi melalui program-program social yang bervariasi serta inovasi pada
konsep-konsep dasar filantropi islam yang melegitimasi penggalangan dana social
dari masyarakat umum.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Gerakan sosial
lazim dikonsepsikan sebagai kegiatan kolektif yang dilakukan kelompok tertentu
untuk menciptakan kondisi sesuai dengan cita-cita kelompok tersebut. Bagi
mereka, kehidupan masyarakat seperti yang ada pada saat ini dirasakan semakin
tidak mampu menciptakan kesejahteraan, karena itu perlu diganti dengan tatanan
sosial baru yang lebih baik. Tatanan sosial baru tersebut harus bersumber pada salah
satunya adalah nilai-nilai keagamaan. Berdasarkan pemaparan di atas dapat
diambil garis besar bahwa gerakan sosial keagamaan merupakan hasil perilaku
kolektif yang dilakukan oleh sejumlah orang dengan mengatasnamakan nilai dan
ajaran keagamaan yang bersifat rutin dan merupakan tanggapan terhadap adanya
rangsangan yang berkaitan dengan kesadaran keagamaan.
Banyak sekali
faktor pembentuk gerakan sosial keagamaan di dunia ini. Namun secara umum
gerakan sosial keagamaan terbentuk karena adanya ketegangan struktural dan
politik, sumber Daya dan Struktur Mobilisasi, kesempatan dan Hambatan Dinamika
Sosial dan ideasional dan Proses Pembingkaian (Framing). Dari
faktor-faktor tersebut, maka lahirlah gerakan-gerakan sosial keagamaan yang
berfariatif, seperti Hindhuisme, Budhaisme, reformasi gereja dan filantropi
Islam.
Daftar Pustaka
Lembaga
pengkajian dan Penelitian WAMY. 2002. Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (akar
ideologis dan penyebarannya). Jakarta : al-i’tishom Cahaya Umat.
Wiktorowicz
Quintan. 2012. Gerakan Sosial Islam (teori, pendekatan dan studi kasus).
Yogyakarta : Gading Publishing dan Paramadina.
PT. BPK Press, 1989. Pendit. Nyoman, Aspek-aspek Agama
Hindu, Menik Geni, 1993
Nanang
Martono.2012.Sosiologi Perubahan Sosial.Jakarta:
Rajawali Pers
H. Haikal.1989.Renaissane dan Reformasi.Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
http://www.waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=16261:gerakan-sosial-keagamaan&catid=59:opini&Itemid=215
Tidak ada komentar:
Posting Komentar