Minggu, 23 Juni 2013

agama dan gerakan sosial



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Agama merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia. Manusia beragama bukan hanya terbatas pada mereka mempercayai adanya Tuhan namun bagi mereka yang mempercayai adanya kekuatan lain yang tidak terlihat secara kasap mata, dapat dikatakan sebagai manusia yang beragama. Agama meliputi berbagai bidang kehidupan manusia seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Mengatur dari hal sederhana sampai pada hal yang komplek. Agama merupakan patokan manusia dalam bertindak dalam kehidupannya.
Agama yang mencakup berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat dapat menjadi dasar dalam suatu pergerakan yang muncul dalam masyarakat. Perubahan zaman yang semakin hari kian pesat dengan membawa berbagai dampak pada kehidupan yang mulai menjauh dari nilai-nilai agama memicu bermunculannya gerakan sosial dengan basis agama untuk melakukan pembaharuan. Gerakan sosial keagamaan bermunculan untuk menjadi kontrol sosial masyarakat secara umum atau pemeluk agama tersebut secara khususnya.

B.       Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka kami mengajukan beberapa rumusan masalah yang antara lain sebagai berikut :
1.    Apa yang dimaksud dengan gerakan sosial keagamaan?
2.    Apa saja faktor pembentuk gerakan sosial keagamaan ?
3.    Apa saja gerakan sosial keagamaan yang ada ?

C.      Tujuan
Dari uraian rumusan masalah di atas, maka penyusunan makalah ini bertujuan untuk :
1.    Mengetahui maksud gerakan sosial keagamaan.
2.    Mengetahui faktor pendorong gerakan sosial keagamaan.
3.    Mengetahui gerakan sosial keagamaan yang ada.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Gerakan Sosial Keagamaan
Konsep gerakan sosial perlu dibedakan dengan konsep gerak sosial. Gerak sosial lebih dimaknai sebagai proses mobilitas sosial (social mobility), dimana terjadi proses perpindahan seorang individu dari status yang satu ke status yang lain, baik pada derajat yang sama (mobilitas horizontal) maupun pada derajat yang berbeda (mobilitas vertikal). Sedangkan menurut Sunarto, gerakan sosial pada hakikatnya merupakan hasil perilaku kolektif, yaitu sebuah perilaku yang dilakukan bersama-sama oleh sejumlah orang yang tidak bersifat rutin dan perilaku mereka merupakan hasil tanggapan atau respons terhadap rangsangan tertentu. (dalam Nanang Martono, 2012).
Gerakan sosial adalah hasil perilaku kolektif yaitu yang dilakukan bersama-sama oleh sejumlah orang yang tidak bersifat rutin dan perilaku mereka merupakan hasil tanggapan atau respon terhadap adanya rangsangan tertentu. Namun gerakan sosial berbeda dari perilaku kolektif karena gerakan sosial sifatnya lebih terorganisir dan lebih memiliki tujuan dan kepentingan bersama dibanding perilaku kolektif. Perilaku kolektif dapat terjadi secara spontan, namun gerakan sosial memerlukan sebuah proses pengorganisasian massa. Giddens (dalam Nanang Martono, 2012) menjelaskan konsep gerakan sosial sebagai suatu upaya kolektif untuk mengejar konsep suatu kepentingan bersama, atau gerakan yang bertujuan untuk mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif di luar lingkup lembaga-lembaga yang sudah ada.
Gerakan sosial lazim dikonsepsikan sebagai kegiatan kolektif yang dilakukan kelompok tertentu untuk menciptakan kondisi sesuai dengan cita-cita kelompok tersebut.  Bagi mereka, kehidupan masyarakat seperti yang ada pada saat ini dirasakan semakin tidak mampu menciptakan kesejahteraan, karena itu perlu diganti dengan tatanan sosial baru yang lebih baik.  Tatanan sosial baru tersebut harus bersumber pada salah satunya adalah nilai-nilai keagamaan. Berdasarkan pemaparan di atas dapat diambil garis besar bahwa gerakan sosial keagamaan merupakan hasil perilaku kolektif yang dilakukan oleh sejumlah orang dengan mengatasnamakan nilai dan ajaran keagamaan yang bersifat rutin dan merupakan tanggapan terhadap adanya rangsangan yang berkaitan dengan kesadaran keagamaan.


B.  Faktor Terbentuknya Gerakan Sosial Keagamaan
Munculnya gerakan-gerakan sosial keagamaan diberbagai negara tidak serta merta muncul dengan sendirinya, melainkan disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang melatar belakanginya. Secara umum dan teoritis faktor terbentuknya gerakan sosial keagamaan tersebut antara lain sebagai berikut :
1.    Ketegangan struktural dan politik
Pendekatan awal terhadap studi gerakan sosial bersumber dari ulasan-ulasan psikologi sosial fungsional tentang perilaku massa. Titik tolak analisis tersebut ialah asumsi bahwa keseimbangan sistem merupakan suatu kondisi sosial yang natural dan stabil. Dari perspektif ini, masyarakat secara organis menghasilkan infrastruktur kelembagaan yang mengatur keseimbangan diantara input dan output dalam sistem politik. Tuntutan-tuntutan sosial diakomodasi oleh lembaga-lembaga yang responsif, mampu menyalurkan dan menangani begitu banyak kepentingan untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang optimal. Kebijakan-kebijakan ini nantinya akan berfungsi untuk meredakan berbagai tuntutan dan memelihara keseimbangan sistem tersebut. Bagi kaum fungsionalis, ketidakseimbangan sistem bersumber dari ketegangan-ketegangan struktural eksogen yang menghasilkan ketidakpuasan baru dan mengikis efisiensi lembaga-lembaga, menghasilkan disfungsi-disfungsi berupa patologis yang dapat mengakibatkan ketidakstabilan politik. Jika kemampuan kelembagaan tidak dapat mengakomodasi tuntutan-tuntutan baru masyarakat, maka akan mengakibatkan munculnya ketegangan sosial dan kekacauan politik (Huntington, 1968).
Model teori gerakan sosial klasik tersebut mengandaikan suatu hubungan kausal yang linear dimana ketegangan-ketegangan struktural mengakibatkna ketidanyamanan psikologis yang pada gilirannya nanti akan menghasilkan tindakan kolektif. Beranekaragam ketegangan seperti industrialisasi, modernisasi atau krisis ekonomi jelas akan mengganggu kehidupan sosial dan rutinitas umum dan dengan demikian pula akan menimbulkan ambiguitas normatif dan sosial tentang bagaimana menanggapi kondisi yang berubah. Teori tentang massa menyatakan bahwa terkikisnya kelompok perantara masyarakat dan politik mengakibatkan munculnya perasaan anomi, keputusasaan dan kecemasan sosial yang semakin besar. Perasaan keterasingan dan ketidakmampuan berhadapan dengan perubahan sosial dipercaya mendorong individu-individu untuk bergabung dengan gerakan-gerakan sosial. Gerakan sosial tersebut dengan demikian dilihat sebagai mekanisme pelarian diri, yang mana melaluinya individu-individu mendapatkan kembali perasaan bersatu dan berdaya. Meskipun terdapat berbagai macam varian dan teori gerakan sosial awal, namun semuanya memiliki pemahaman yang sama tentang gerakan sosial sebagai mekanisme-mekanisme untuk mengatasi ketidaknyamanan psikologis yang diakibatkan oleh ketegangan-ketegangan struktural dan politik.
Beberapa ahli menjabarkan lebih jauh argumennya tentang ketegangan tersebut dan menegaskan bahwa bentuk tepat aktivisme keagamaan secara langsung berkaitana dengan intensitas krisis tersebut. dekmejian mewakili perspektif ini dengan menyatakan bahwa “lingkup dan intensitas reaksi fundamentalis yang berkisar dari kebangkitan spiritual hingga kekerasan revolusioner bergantung pada seberapa mendalam dan luasnya lingkungan krisis” (1995 : 6). Ketegangan yang semakin meningkat dianggap sebagai sebabmunculnya tanggapan yang semakin kuat, dimana individu-individu berusaha untuk menjangkarkan diri mereka kembali atau mengatasi ketidakpuasan melalui agama (Esposito, 1992 : 12-17).

2.    Sumber Daya dan Struktur Mobilisasi
Teori Mobilisasi Sumber Daya (TMSD) mencul sebagai tanggapan terhadap berbagai kelemahan dari pendekatan gerakan sosial model sosial-psikologis fungsionalisme di atas, yang mana TMSD melihat gerakan-gerakan sebagai sesuatu yang rasional, suatu manifestasi tindakan kolektif yang terorganisir. TMSD sebagai sebuah pendekatan menegaskan bahwa sementara ketidakpuasan tersebar luas namun gerakan tidak ada. Akibtaknya ada variabel-variabel perantara yang menerjemahkan tiap-tiap ketidakpuasan menjadi suatu pernyatan yang terorganisasi. Bagi TMSD, sumber daya dan struktur-struktur mobilisasi seperti organisasi gerakan sosial yang formal diperlukan untuk menciptakan ketidakpuasan kolektif, yang tanpa itu kepuasan akan tetap merupakan ketidakpuasan individual. Gerakan sosial tidak dilihat sebagai ledakan tidak rasional yang ditujukan untuk meringankan ketegangan psikologis, tetapi lebih sebagai suatu pernyataan yang terorganisasi dan terstruktur melalui mekanisme-mekanisme mobilisasi yang memberikan sumber-sumber daya strategis bagi tindakan kolektif yan berlanjut.
TMSD yang berakar dari masyarakat-masyarakat barat menekankan dimensi rasional dan strategis dari gerakan-gerakan sosial dalam masyarakat-masyarakt demokratis liberal (Obershal : 1973). Gerakan sosial membentuk wadah bagi mobilisasi, mekanisme komunikasi dan staf-staf profesional melalui sebuah proses birokratisasi dan diferensiasi kelembagaan yang didesain untuk mengkoordinasi dan mengorganisasikan dampak serta pengaruhnya. Pentingnya sumber daya organisasi dapat penyusun contohkan masjid misalnya, merupakan lembaga utama keagamaan bagi masyarakat muslim dan seringkali dimanfaatkan sebagai suatu struktur mobilasasi religio-spasial oleh berbagai kelompok Islam. Dalam struktur fisik masjid, kalangan Islami menyelenggarkan khutbah dan kelompok-kelompok studi untuk menyebarkan pesan gerakan tersebut, mengorganisasi tindakan kolektif dan merekrut anggoota baru. Masjid juga menawarkan jaringan organik dan nasional yang menghubungkan komunitas aktivis diberbagai tempat. Meskipun peran masjid sebagai “ruang bebas” telah merosot pada akhir-akhir ini karena rezim-rezim memperluas kontrol negara atas lembaga-lembaga publik, namun dalam hal ini mobilisasi juga analog dengan penggunaan gereja oelh gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat (Mc Adam : 1982).   
Selain itu, LSM-LSM dan gerakan filantropi juga merupakan salah satu gerakan yang memanifestasikan tindakan kolektif yang terorganisir, dimana juga merupakan kumpulan organisasi tingkat menengah lain yang umum digunakan masyarakat (Sullivan : 1994). LSM-LSM keagamaan yang membuat struktur fisik seperti klinik medis,rumah sakit, yayasan derma, pusat budaya dan sekolahan-sekolahan menyediakan barang dan jasa dasar untuk menjawab persoalan sehari-hari masyarakat pemeluknya. Dalam konteks organisasi ini, aktivitas keagamaan tidak hanya memberikan layanan-layan sosial yang diperlukan (sering kali di wilayah-wilayah dimana program-program negara tidak berlangsung efektif), melainkan juga memanfaatkan interaksi sosial dengan komunitas-komunitas lokal untuk menyebarluaskan pesan dan merekrut anggota. Organisasi-organisasi yang berakar dalam aktivitas-aktivitas pembangunan sosio-ekonomi ini menggambarkan suatu wajah publik yang bersahabat dan mendukung peran agama tanpa secara langsung menentang rezim meskipun aktivitas-aktivitas tersebut mungkin memperlihatkan ketidakmampuan negara untuk menangani secara efektif persoalan sosio-ekonomi (Sullivan :1994).
     
3.    Kesempatan dan Hambatan Dinamika Sosial
Gerakan-gerakan sosial tidak beroperasi dalam ruang hampa. Mereka adalah bagian dari suatu lingkungan dan konteks sosial yang lebih luas, yang dicirikan oleh berbagai konfigurasi keleluasaan dan hambatan yang berubah-ubah sacara cair yang menstrukturkan dinamika gerakan. Terlepas dari tingkat ketidakpuasan, ketersediaan sumber daya atau kelaziman struktur mobilisasi, para aktor kolektif dalam gerakan sosial dibatasi dan diberdayakan oleh faktor-faktor eksogen yang sering kali membatasi kemungkinan gerakan dan daftar taktik, tindakan serta pilihan. Faktor eksogen yang terpenting tersebut menrut para ahli ialah pembukaan dan penutupan ruang politik dan lokasi kelembagaan dan substantifnya (Gamson dan Meyer,  1996 : 277).
Kendati pendekatan ini memusatkan perhatiaannya pada faktor-faktor struktural, namun ia memiliki asumsi yang serupa dengan TMSD. Yakni kesamaan asumsi dasar bahwa perseteruan gerakan sosial berasal dari aktor-aktor rasional. Meskipun analisa strukturalis gerakan sosial terutama memusatkan perhatian pada cara-cara dimana kondisi-kondisi struktural mempengaruhi dinamika gerkan sosial, terdapat asumsi bahwa ketika para aktor menyadari terdapatnya kesempatan dan ancaman, maka secara rasional akan memberikan tanggapan untuk memaksimalkan berbagai keterbukaan untuk mengatasi kesulitan (Berijikian, 1992).  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gerakan sosial keagamaan dibentuk olah aktor-aktor atau aktivis-aktivis sebagai pemikir strategis yang dipengaruhi oleh kesempatan dan hambatan dinamika sosial yang ada disekitarnya.
  
4.    Ideasional dan Proses Pembingkaian (Framing)
Sejak tahun 1980-an para teoritisi gerakan sosial tertrik pada peran faktor-faktor ideasional, antara lain interaksi sosial, makna/identitas dan budaya. Selain dimensi strategis dan strukturalis dari mobilisasi yang digambarkan dalam Teori Mobilisasi Sumber Daya (TMSD) dan model proses politik, teori gerakan sosial semakin kuat mengkaji tentnag bagaimana individu dapat mengkonseptualisasi diri merka sendiri sebagai kolektifitas : bagaimana para calon peserta/aktor gerakan sosial diyakinkan untuk berpartisipasi dan cara-cara dimana makna diproduksi, diartikulasikan dan disebarkan oleh aktor-aktor gerakan sosial melalui proses interaktif. Dalam perkembangannya sebuah pendekatan teoritis terhadap gerakan-gerakan sosial, minat ini umumnya mewujudkan dirinya melalui studi tentang pembingkaian (framing).
Bingkai (frame) merupakan skema-skema yang memberikan sebuah bahasa dan sarana kognitif untuk memahami pengalaman-pengalaman dan peristiwa di dunia luar. Bagi gerakan sosial, skema-skema ini penting untuk menghasilkan dan menyebarkan penafsiran-penafsiran gerakan dan dirancang untuk memobilisasi para aktor serta merangsang tindakan kolektif. Istilah “pembingkaian” (framing) digunakan untuk menggambarkan proses pembentukan makna (Snow : 1986)

C.    Contoh Gerakan Sosial Keagamaan
Beberapa contoh gerakan sosial yang ada antara lain :
1. Renaissance dan Reformasi Gereja
Renaissance berasal dari bahasa Perancis, renaitre yang berarti kelahiran kembali. Maksudnya adalah kelahiran kembali budaya klasik Yunani dan Romawi setelah sekitar sepuluh abad kedua budaya tersebut “tenggelam” dalam dominasi gereja. Pada masa tersebut, dapat dikatakan peran gereja dominan dan paling menentukan dalam kehidupan masyarakat Eropa pada umumnya. Pada masa abad tengah (sebelum abad 15) budaya Yunani dan Romawi yang dianggap kurang sejalan dengan gereja, akan memperoleh label kafir. Pada abad ini, dikenal dengan dark ages dimana dominasi gereja yang menekankan idealism pada kesatuan, hierarki, serta keserasian.
Reformasi merupakan salah satu kelanjutan dari perkembangan gerakan renaissance. Sebagai suatu gerakan, reformasi telah berhasil memecah belah Eropa terutama dalam hal agama. Kesatuan masyarakat nasrani Barat telah lenyap dan digantikan dengan lahirnya berbagai gerakan pembaharuan nasrani yang masing-masing cenderung menggangap kelompok sendiri benar dan yang lain salah.
Reformasi gereja menurut McDonald dalam Western Political Theory adalah sebagai perubahan simbol-simbol banyak kekuatan dan fungsi gereja pada abad pertengahan menuju tatanan kehidupan masyarakat sekuler. Sehingga reformasi gereja merupakan sebuah upaya perbaikan tatanan kehidupan yang didominasi oleh otokrasi gereja yang menyimpang. Reformasi gereja adalah sebuah upaya perbaikan dan kembali pada ajaran gereja yang lurus, gerakan reformasi berupa sikap kritis terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pihak Gereja Katholik pada waktu itu terutama adanya penjualan surat pengampunan dosa (disebut surat aflat). Surat pengampunan itu dijual kepada mereka yang tidak dapat ikut dalam perang salib antara abad 11-13. Kebiasaan penjualan surat pengampunan dosa kemudian dilakukan untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan gereja, maupun rumah sakit. Faktor lain dari munculnya reformasi gereja adalah keinginan untuk membebaskan diri dari kepemimpinan Paus terhadap kehidupan beragama di negara-negara Eropa.
Gerakan Reformasi gereja bermula dari Kemelut di Gereja Barat dan Kekaisaran Romawi Suci memuncak dengan Kepausan Avignon (1308 - 1378), dan skisma kepausan (1378-1416), hal ini membangkitkan peperangan antara para pangeran, pemberontakan di antara petani, dan keprihatinan yang meluas terhadap rusaknya sistem kebiaraan dan gereja katolik. Gerakan reformasi adalah suatu nasionalisme baru juga menantang dunia abad pertengahan dan meluas secara internasionalis. Salah satu perspektif yang paling menghancurkan dan radikal sendi-sendi gereja pada waktu itu. Gerakan ini pertama-tama muncul dari John Wyclif 1320-1384 di Universitas Oxford, kemudian dari John Huss 1369-1415 di Universitas Praha, dan Desiderus Erasmus (1466-1536), dan Thomas More (1478-1575).
Gereja Katolik Roma secara resmi menyimpulkan perdebatan ini di Konsili Konstanz (1414-1418). Konklaf mengutuk John Huss yang dihukum mati, padahal ia datang dengan jaminan keamanan. Sementara Wyclif secara anumerta dihukum bakar sebagai seorang penyesat. Konstans mengukuhkan dan memperkuat konsepsi abad pertengahan yang tradisional tentang gereja dan kekaisaran. Konsili ini tidak membahas ketegangan nasional, ataupun ketegangan teologis yang muncul pada abad sebelumnya. Konsili tidak dapat mencegah skisma dan Perang Huss di Bohemia.
Gerakan ini kemudian berkembang dengan berbagai tokohnya melahirkan banyak pemikiran baru tentang bagaimana masyarakat seharusnya ditata. Hal inilah yang mengakibatkan tercetusnya Reformasi Protestan. Setelah runtuhnya lembaga-lembaga biara dan skolastisisme di Eropa pada akhir abad pertengahan, yang diperparah oleh Pembuangan ke Babel dari Kepausan Avignon, Skisma Besar, dan kegagalan pembaruan oleh Gerakan Konsiliar, pada abad ke-16 mulai matang perdebatan budaya yang besar mengenai pembaruan keagamaan dan kemudian juga nilai-nilai keagamaan yang dasariah. Para ahli sejarah pada umumnya mengasumsikan bahwa kegagalan untuk mereformasi (terlalu banyak kepentingan pribadi, kurangnya koordinasi di kalangan koalisi pembarua), akhirnya menyebabkan gejolak yang lebih besar atau bahkan revolusi, karena sistemnya akhirnya harus disesuaikan atau runtuh, dan kegagalan Gerakan Konsiliar melahirkan Reformasi Protestan di Eropa bagian barat. Gerakan-gerakan reformis yang frustrasi ini merentang dari nominalisme, ibadah modern, hingga humanisme yang terjadi berbarengan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi, politik dan demografi yang ikut menyebabkan ketidakpuasan yang kian meningkat terhadap kekayaan dan kekuasaan kaum agamawan elit, membuat masyarakat semakin peka terhadap kehancuran finansial dan moral dari gereja Renaisans yang sekular. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh wabah pes mendorong penataan ulang secara radikal ekonomi dan akhirnya juga masyarakat Eropa. Namun demikian, di kalangan pusat-pusat kota yang bermunculan, bencana yang terjadi pada abad ke-14 dan awal abad ke-15, dan kekurangan tenaga kerja yang ditimbulkannya, merupakan dorongan kuat bagi diversifikasi ekonomi dan inovasi teknologi.
Selanjutnya reformasi Gereja berkembang dan memunculkan tokoh-tokoh reformer yaitu Martin Luther (1483-1546), Johannes calvin (1509-1564), dan Bodin (1530-1596). Pada tahun 1517 Martin Luther mengemukakan pokok-pokok pikiran sebagai kritikan terhadap Gereja meliputi 95 dalil yang kemudian ditempel di pintu gereja Wittenberg. Pendapatnya antara lain: Amal baik yang tidak keluar dari hati yang murni tidak akan diterima Tuhan. Hanya orang yang percaya kepada Yesus Kristuslah yang dapat diterimaTuhan. Tiap orang dapat langsung berhubungan dengan Tuhan tanpa perantara Gereja. Tiap orang yang menyesali kesalahannya akan terlepas dari hukuman sehingga tidak diperlukan adanya surat pengampunan dosa. Gereja meerupakan perkumpulan orang percaya dan Yesuslah Kepalanya sehingga kedudukan Paus selaku pimpinan agama tidak dapat diterimanya.
Selain mengutamakan ajaran di atas, pada masa pembuangannya Martin Luther juga menterjemahkan Kitab Injil dari bahasa Latin ke bahasa Jerman sehingga banyak orang dapat memahami isi kitab suci. Reformasi Gereja juga berkembang ke negara-negera lain di Eropa misalnya tokoh Jean Calvin dari Prancis (1509-1564) yang ajarannya disebut Calvinisme banyak pengikutnya di Belanda, Inggris dan Scotlandia. Tokoh Ulrich Zwingli (1484-1531) dari Swiss serta munculnya Gereja Anglica di Inggris dipelopori oleh raja Henry VIII Tudor (1509-1547).
Reformasi ini berakhir dengan pembagian dan pendirian institusi-institusi baru, di antaranya Gereja Lutheran, Gereja-gereja Reformasi, dan Anabaptis. Gerakan ini juga menimbulkan Reformasi Katolik di dalam Gereja Katolik Roma. Rancangan teologis dan latar belakangnya disusun pada Konsili Trente (1548-1563), ketika Roma memukul balik gagasan-gagasan fundamental yang dibela oleh para Reformator, seperti Luther.

2.    Budhisme
Budhisme adalah sebuah agama yang muncul di india, sesudah brahmanisme, pada abad kelima sebelum masehi. Pada mulanya agama ini cenderung memperhatikan manusia, disamping kepada pembersihan dan kehalusan jiwa, hidup sederhana, cinta kasih, toleransi dan perbuatan baik. Akan tetapi tidak lama kemudian, setelah pendirinya meninggal, agama ini berubah menjadi kepercayan bathil yang penuh dengan nilai- nilai berhalaisme. Bahkan para pengikutnya sangat mengkultuskan pendirinya sampai ke tingkat menuhankannya.
Budhisme didirikan oleh Sidharta Gautama (560- 480 SM) yang bergelar Budha, orang yang berpengetahuan luas. Selain itu ia digelari ‘Sakiya Muni’ yang bersemedi. Sidharta Gautama dibesarkan di sebuah kampung di perbatasan Nepal. Ia adalah seorang Pangeran yang hidup dalam kemewahan. Menikah pada usia 19 tahun. Kemudian pada umur 26 tahun ia pergi meninggalkan istrinya, bertapa meninggalkan segala kenikmatan duniawi. Selanjutnya ia menjalani kehidupan yang sangat sederhana, merenungi alam, melatih jiwa dan bercita- cita ingin menyelamatkan manusia dari penderitaan yang bersumber dari hawa nafsu. Kemudian ia menyeru manusia agar mengikuti arah pemikirannya. Akhirnya ia mendapat banyak pengikut.
Pemeluk budha percaya bahwa Budha adalah anak tuhan, penyelamat manusia dari segala tragedy dan penderitaan. Dialah yang menanggung segala kesalahan manusia. Mereka juga berkeyakinan bahwa penjelman budha terjadi melalui proses persenyawaan antara ruh suci dengan perawan ‘maya’. Mereka mengatakan, kelahiran budha ditandai dengan munculnya sebuah bintang di langit yang disebut bintang budha. Penganut budha bersembahyang menyembah budha. Mereka berkeyakinan bahwa budha dapat memasukkan ke nirwana. Sembahyang menurut mereka harus dilaksanakan dalam upacara pertemuan yang dihadiri oleh orang- orang budha yang banyak.
Kaum budha terpecah menjadi dua golongan, budha yang taat beragama dan budha awam. Budha taat ialah orang budha yang menjalankan seluruh ajaran budha dan wasiat- wasiatnya. Sedangkan budha awam ialah orang budha yang menerapkan sebagian ajaran dan wasiat- wasiatnya. Budhisme mempunyai dua aliran, aliran utara dan aliran selatan. Aliran utara ialah pengikut budha sampai menuhankannya. Sedangkan aliran selatan ialah pengikut budha yang agak wajar dalam memandang budha. Kitab- kitab budha utara banyak mengandung khurafat dan mithologi yang terkait dengan pribadi budha. Sedangkan kitab- kitab budha selatan kekhurafatannya relative lebih sedikit dibandingkan dengan kitab budha utara.
Agama budha tersebar luas di Negara- Negara asia. Seperti tersebut di muka, agama ini mempunyai dua aliran yaitu :
a.    Aliran utara yang kitab- kitab sucinya ditulis dalam bahasa sansekerta. Aliran ini berkembang di cina, jepang, Nepal dan sumatera (pada masa kerajaan sriwijaya).
b.    Aliran selatan yang kitab- kitab sucinya ditulis dalam bahasa pali, tersebar di Birma, Sailan dan Siam.

3.    Hinduisme
Hinduisme adalah sebuah agama berhala yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk ndia. Agama ini telah terbentuk dari perjalanan sejarahnya yang panjang sejak abad 15 SM. Agama ini mencakup nilai- nilai rohani dan moral, disamping prinsip- prinsip perundang- undangan dan peraturan, dengan menjadikan banyak tuhan  sesuai dengan tugas dan pekerjaannya. Oleh sebab itu setiap kawasan mempunyai tuhan dan setiap pekerjaan atau fenomena mempunyai tuhan pula.
Agama hindu tidak mempunyai seseorang pendiri yang jelas. Begitu pula sebagian besar kitab- kitabnya juga tidak mempunyai pengarang yang jelas. Agama ini terbentuk, dan begitu pula buku- bukunya lewat perjalanan sejarah yang panjang. Bangsa Aria si penggemar perang yang datang ke india pada abad ke 15 SM, adalah para pendiri pertama agama ini. Agama pendatang baru ini tidak menghapuskan agama purba orang- orang india, tetapi justru berakulturasi dan masing- masing saling isi mengisi antara satu dengan lainnya. Pada abad 18 SM agama hindu berkembang pesat dibawah kepemimpinan brahmana yang menganggap bahwa di dalam tabiat mereka terdapat unsure ketuhanan. Kemudian berkembang kembali pada abad ke 3 SM.
Hinduisme menolak gerakan reformasi intern yang tercermin dalam budhisme dan jinisme dan juga menolak gerakan reformasi ekstern yang tercermin dalam islam. Justru hinduisme menyerang bentuk kedua reformasi tersebut dengan memelihara secara ketat ajaran dan keyakinan- keyakinannya. Pada abad ke 15 SM india didiami penduduk yang berasal dari Sudan yang mempunyai pemikiran dan keyakinan- keyakinan yang primitive. Datanglah bangsa Aria si penggemar perang yang dalam perjalanannya telah melewati daerah orang- orang iran. Maka keyakinan- keyakinan mereka terpengaruh oleh keyakinan masyarakat dari Negara- Negara yang mereka lalui. Ketika mereka menetap di india itulah terjadi akulturasi antara berbagai keyakinan- keyakinan itu yang kemudian melahirkan Hinduisme. Yaitu sebuah agama yang mengadung pemikiran- pemikiran primitive tentang penyembahan alam, nenek moyang dan khususnya sapi. Pada abad ke 8 SM kondisi hinduisme mengalami peningkatan ketika madzhab brahma dibuat, dan mereka menetapkan tentang penyembahan terhadap brahma.
Agama hindu telah diguncang oleh dua topan pergerakan yang sangat dahsyat yaitu jinisme dan budhisme. Lahirnya perundang- undangan (minu) membuat agama itu menjadi kuat kembali. Peristiwa itu terjadi pada abad ke 2 dan 3 SM.
Agama hindu pernah berkuasa di benua india dan tersebat di Negara itu dalam beraneka ragam titik tekan. Akan tetapi perbedaan yang amat jauh antara uat islam dengan umat hindu dalam memandang alam, kehidupan dan sapi (yang disembah oleh orang- orang hindu tapi disembelih oleh umat islam serta dimakan dagingnya) itu semua telah menyebabkan terjadinya perpecahan dan pembagian Negara, dimana telah dipermaklumkan berdirinya Negara Pakistan yang mendapatkan bagian timur dan baratnya, karena sebagian besar penduduknya adalah islam. Dan sisanya adalah Negara india yang sebagian besar penduduknya adalah hindu. Keberadaan umat islam di negeri india menjadi minoritas.

4.    Filantropi Islam
Filantropi yang berarti kedermawanan, kini dimaknai secara lebih fleksibel dan beragam dalam masyarakat. Di Negara- Negara yang berpenduduk muslim, konsep filantropi islam juga diadopsi dan diartikulasikan dalam pelbagai bentuk ekspresi social dan ekonomi, baik yang bersifat individual maupun kolektif. Doktrin- doktrin keagamaan dalam ajaran islam tentang kewajiban memberikan pertolongan dan bantuan bagi kalangan fakir dan miskin dengan cara menyerahkan sebagian harta yang dimiliki orang-orang kaya telah memberikan inspirasi sebagian kalangan masyarakat untuk melembagakan kegiatan filantropi ini. Para ulama dan aktivis social pun berperan penting dalam mengkonstruksi dan mengembangkan wacana dan aksi filantropi. Kesadaran bahwa aksi kedermawanan individual tidak lagi cukup untuk melakukan perubahan kolektif semakin tumbuh. Kini muncul banyak organisasi-organisasi social keagamaan yang mencoba memobilisasi dan mentransformasikan kesadaran individual tersebut untuk menajdi kesadaran kolektif dan selanjutnya menjadi gerakan kolektif.
Kesadaran kolektif dalam gerakan finaltropi islam telah melalui proses evolusi yang cukup panjang dan dinamis. Hal ini terbukti dengan munculnya actor penggiat filantropi islam dengan latar belakang dan fungsi keorganisasian yang berbeda- beda baik itu adalah organisasi masyarakat sipil berbasis komunitas (yayasan social keagamaan), organisasi yang berorientasi profit (perusahaan- perusahaan), dan organisasi Negara (aparatur pemerintahan). Evolusi kelembagaan filantropi mulai terlihat di Indonesia,  setidaknya sejak akhir 1960 dan 1970-an, ketika keterlibatan pemerintah baik dalam konteks regional maupun nasional, dalam mengatur regulasi pengelolaan dana- dana masyarakat yang berasal dari zakat semakin kasat mata. Meski belum sepenuhnya berjalan secara efektif, pada akhir tahun 1960-an sampai 1970 an beberapa kebijakan pemerintah tentang kegiatan filantropi islam di Indonesia sudah muncul melalui tangan kementrian agama maupun pemerintah daerah.
Perbedaan perspektif atau kacamata yang digunakan untuk membaca dan memaknai filantropi islam setidaknya memiliki konsekuensi pada gerakan filantropi itu sendiri baik dilihat pada aspek hokum islam (fiqh), hokum- hokum positif yang terkait dengan zakat maupun pada aspek kelembagaan. Jatuhnya rejim politik Soeharto pada akhir tahun 1990-an menjadi penanda munculnya babak baru gerakan filantropi islam di Indonesia, baik dalam konteks social ekonomi, hokum maupun politik. Setelah krisis moneter yang tejadi pada akhir tahun 1990-an beberapa lembaga keagamaan islam yang sebelumnya agak abai terhadap potensi dan fungsi filantropi islam mulai melirik aspek filantropi islam sebagai salah satu alat guna menggalang dana- dana masyarakat untuk kemudian didayagunakan bagi kalangan masyarakat kurang mampu dengan pelbagai kepentingan.
Evolusi aspek legal- formal filantropi islam di Indonesia ditandai diantaranya oleh lahirnya Undang- undang Zakat  (UU Zakat) No 23 tahun 2011. DPR RI mengesahkan UU Zakat tahun 2011 sebagai hasil revisi terhadap UU pengelolaan zakat tahun 1999. Disahkannya UU zakat 2011 dipersepsikan secara berbeda oleh para pegiat filantropi islam. UU zakat 2011 dianggap membawa angin segar bagi sebagian kalangan, terutama pemerintah dan lembaga- lembaga yang berafiliasi atau disponsori oleh pemerintah seperti BAZNAS (badan amil zakat nasional) dan BAZDA (badan amil zakat daerah). Dengan legitimasi UU tersebut BAZNAS dan BAZDA memiliki dua fungsi sekaligus: fungsi control dan fungsi operator. Dengan fungsi control yang dimiliki BAZNAS dan BAZDA dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dana zakat yang dilakukan oleh LAZ  (lembaga amil zakat, sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut lembaga amil yang didirikan organisasi masyarakat/ormas). Selain melakukan pengawasan, juga berfungsi sebagai operator yaitu menjadi pengelola langsung dana- dana masyarakat.
Menjamurnya lembaga filantropi islam yang mengelola zakat, sedekah dan wakaf dalam sepuluh tahun terakhir mengindikasikan tingginya antusiasme masyarakat dalam merevitalisasi tradisi filantropi islam. Antusiasme tersebut dapat dilihat dalam tiga aspek yaitu transformasi kelembagaan, dinamika pendistribusian dana filantropi melalui program-program social yang bervariasi serta inovasi pada konsep-konsep dasar filantropi islam yang melegitimasi penggalangan dana social dari masyarakat umum.









BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Gerakan sosial lazim dikonsepsikan sebagai kegiatan kolektif yang dilakukan kelompok tertentu untuk menciptakan kondisi sesuai dengan cita-cita kelompok tersebut.  Bagi mereka, kehidupan masyarakat seperti yang ada pada saat ini dirasakan semakin tidak mampu menciptakan kesejahteraan, karena itu perlu diganti dengan tatanan sosial baru yang lebih baik.  Tatanan sosial baru tersebut harus bersumber pada salah satunya adalah nilai-nilai keagamaan. Berdasarkan pemaparan di atas dapat diambil garis besar bahwa gerakan sosial keagamaan merupakan hasil perilaku kolektif yang dilakukan oleh sejumlah orang dengan mengatasnamakan nilai dan ajaran keagamaan yang bersifat rutin dan merupakan tanggapan terhadap adanya rangsangan yang berkaitan dengan kesadaran keagamaan.
Banyak sekali faktor pembentuk gerakan sosial keagamaan di dunia ini. Namun secara umum gerakan sosial keagamaan terbentuk karena adanya ketegangan struktural dan politik, sumber Daya dan Struktur Mobilisasi, kesempatan dan Hambatan Dinamika Sosial dan ideasional dan Proses Pembingkaian (Framing). Dari faktor-faktor tersebut, maka lahirlah gerakan-gerakan sosial keagamaan yang berfariatif, seperti Hindhuisme, Budhaisme, reformasi gereja dan filantropi Islam.






























Daftar Pustaka

Lembaga pengkajian dan Penelitian WAMY. 2002. Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (akar ideologis dan penyebarannya). Jakarta : al-i’tishom Cahaya Umat.
Wiktorowicz Quintan. 2012. Gerakan Sosial Islam (teori, pendekatan dan studi kasus). Yogyakarta : Gading Publishing dan Paramadina.   
PT. BPK Press, 1989. Pendit. Nyoman, Aspek-aspek Agama Hindu, Menik Geni, 1993
Nanang Martono.2012.Sosiologi Perubahan Sosial.Jakarta: Rajawali Pers
H. Haikal.1989.Renaissane dan Reformasi.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
http://www.waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=16261:gerakan-sosial-keagamaan&catid=59:opini&Itemid=215

Tidak ada komentar:

Posting Komentar