BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
belakang
Fenomena
globalisasi seperti yang terjadi saat ini mempunyai dampak negatif maupun
positif. Dampak positif dari adanya globalisasi seperti yang kita tahu yaitu
memberikan kemudahan bagi kehidupan kita, seperti informasi mudah didapat, sarana komunikasi
dan transportasi juga lebih mudah diakses. Dampak negatifnya sendiri misal saja
dari penggunaan internet, dengan kemudahan akses informasi melalui internet,
apabila tidak disikapi dengan bijak maka akan berdampak negatif pada
ketergantungan dengan internet, bahwa kehidupan lebih banyak diluangkan pada
dunia maya, dibanding dengan kehidupan pada dunia nyata.
Globalisasi
juga memberi dampak positif dan negatif terhadap aspek agama. Globalisasi
apabila dilihat dari segi positif memberikan dampak pada proses penyebaran
informasi terkait dengan pengetahuan keagamaan, sehingga para umat beragama
menjadi luas wawasan dan pengetahuannya dalam ilmu agama. Kehadiran globalisasi
juga menumbuhkan jaringan sosial antar satu umat beraga dengan umat yang lain,
hal ini dapat direspon positif yaitu memberi peluang untuk membentuk dialog
antar umat beragama, sehingga toleransi dapat dipertahankan. Namun dampak
negatif dari globalisasi pada aspek keagamaan yaitu mempengaruhi pergeseran
makna agama. Misal agama yang dahulu dipandang sebagai sesuatu yang sakral,
tetapi dengan pengaruh globalisasi kesakralan menjadi berkurang, hal ini
mungkin dari pengaruh meningkatnya rasionalitas masyarakat dalam pemahaman
agama.
Pergeseran mengenai nilai-nilai
agama juga dipengaruhi dengan semakin banyaknya ideologi yang dipahami,
globalisasi lah yang menyebabkan persebaran ideologi-ideologi tersebut
keseluruh masyarakat. Dengan demikian terjadinya proses globalisasi juga
memberi dampak positif negatif bagi suatu agama.
2.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan globalisasi dan agama?
2. Bagaimana
implementasi pemaknaan agama dalam masyarakat di era globalisasi?
3. Bagaimana
peranan dan tantangan agama dalam sains dan teknologi?
3.
Tujuan
Makalah
1. Agar
pembaca mengetahui pengaruh globalisasi dalam agama.
2. Agar
pembaca mengetahui implementasi pemaknaan agama dalam masyarakat di era
globalisasi.
3. Agar
pembaca mengetahui peranan dan tantangan agama dalam sains dan teknologi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Agama
dan Globalisasi
Kata globalisasi kerap diidentikan
dengan kemajuan terutama dalam bidang teknologi dan informasi yang tanpa batas.
Kedua bidang tersebut memberi dampak pada bidang lainnya seperti budaya,
pendidikan, hukum, ekonomi, sosial, politik kemudian keseluruhan distandartkan
dalam sistem yang mendunia. Menurut Faisal globalisasi sebaai proses sejarah
sekaligus sebuah tren ekonomi. Beliau menuturkan bahwa tahap globalisasi
mengikuti siklus 30 tahunan yang dimulai pada tahun 1945 dengan globalisasi
politik, terbentuknya Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), kedua globalisasi ekonomi
sekitar tahun 1970-an ditandai lahirnya APEC, AFTA, NAFTA, dll. Ketiga,
globalisasi budaya yang dimulai sekitar ertengahan tahun 2000-an sering terjadi penguatan budaya lokal karena
setiap bangsa ingin mempertahankan budaya sendiri. Berbagai globalisasi bidang
tersebut kemudian diprediksikan ada kemungkinan tahun 2030-an terjadi
globalisasi pendidikan yang salah satu
implemenstasinya banyak perguruan tinggi asal negara maju yang memiliki cabang
di sejumlah negara lain. Pada wacana ini kemudian muncul kekawatiran apabila
pendidikan dikendalikan oleh negara sekuler maka lembaga pendidian yang
berlabel agamis di seluruh dunia akan mendapat tantangan besar sehingga pertlu
sebuah pendidikan aama, sains, dan teknologi yang menghidupkan intelektual di
negara-negara yang menerapkan pendidikan berlabel agamis yang relatif stagnan.
Negara Indonesia juga salah satu
negara yang mendapatkan dampak dari globalisasi dalam berbagai bidang. Fenomena
yang muncul dalam masyarakat tidak dapat dielakan bahwa hal tersebut merupakan
implemntasi dari gencarnya kemajuan teknologi dan informasi. Tren-tren dalam
skala ekonomi memberikan warna baru bagi pemikiran kaum intelektual yang lebih
terbuka dalam menerima perkembangan karena bentuk pilihan-pilihan yang harus
diambil sebagai kelangsungan hidup. di bidang pendidikan mislanya sarana dan
prasarana selalu bercermin dengan segala kemajuan dengan dalil kemudahan serba
canggih. Kebutuhan primer akan pendidikan yang sedang berproses mengalami
gejolak globalisasi memberi sumbangan baru dalam pemikiran agama yang dianutnya
baik individu maupun kelompok. Pemaknaan mengenai agama sangat variatif
sehingga kebebasan sangat diagungkan, makna toleransi menjadi bergeser dari
pelajaran budi pekerti yang pada masa orde baru semuanya harus seragam, sama,
dan satu pemikiran bahkan bentuk tindakannya. Konsep globaliasai sangat
bertentangan dengan konsep masa orde baru yang semua dengan aturan dan
meng”harus”kan semua aspek dengan ketentuan pemimpin. Konsep globalisasi
memuculkan banyak lokal-lokal wisdom yang kemudian menjadi tren (globaliasai
budaya). Pemaknaan agama sangat erat dengan pemaknaan budaya, bahkan keduanya
berjalan beriringan sehingga ketika budaya itu sendiri telah mengalami
globaliasai begitu pula pemahaman agama.
Agama yang dikemukakan
oleh EB Taylor (1832 – 1917) adalah religion is the belief in spiritual being”
.
Harun Nasution
menjelaskan agama sebagai
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan
manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib
yang menguasai manusia.
3.
Mengikatkan
diri pada satu bentuk hidup yang mengandung pada suatu sumber yang berada di
luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib
yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu system tingkah laku (code of
conduct) yang berasal dari kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya-kewajiban-kewajiban
yang diyakin bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang
timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang
terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan
kepada manusia melalui seorang rasul.
Koentjaraningrat menyebut aspek
kehidupan beragama dengan komponen religi. Menurut Koentjaraningrat ada lima
komponen religi;
1. Emosi Keagamaan
2. Sistem Keyakinan
3. Sistem Ritus dan Upacara
4. Peralatan Ritus dan Upacara
5.
Umat
Beragama
Definisi agama yang sangat
multitafsir ini di era globalisasi, karena informasi sangat mudah didapat tidak
sedikit masyarakat yang kemudian sudah terbiasa dari ajaran yang tatap muka
baik melalui pendidikan agama secara formal, informal, maupun nonformal
akhirnya mempunyai definisi sendiri dan menjalani hidupnya dengan apa yang
diyakini. Pada pengertian ini kemudian banyak sekali bentuk implembtasi agama
yang condong ke arah modernisasi diri mengikuti informasi apa yang telah
individu itu dapatkan dan yakini.
Globalisasi juga erat kaitannya
dengan modernitas. Hal-hal yang baru dan bersifat kebaratan dan diangap
rasional karena dibuktikan dengan metode yang telah disepakati bersama
merupakan alat pergeseran makna utama agama dalam arus globalisasi terkait
modernitas. Bagi bangsa Indonesia mengedealisasikan peranan agama dalam
pembentukan budaya dan kepribadian bangsa adalah wajar, karena agama memang
memiliki akar ynag kokoh dalam, hampir segala untuk tidak menyebut seluruh
subkultur yang ada di Indonesia, konon sejak zaman dahulu kala. Dengan kata
lain, bagi bangsa Indonesia agama telah menjadi salah satu unsur yang paling
dominan dalam sejarah peradaban kita, termasuk di dalamnya era modern ini, dan
bahkan diduga keras akan tetap berpengaruh di masa depan.
Perubahan tentang organisasi dan
gerakan-gerakan agama dilihat dari perspektif teori sosiologis merupakan salah
satu diantara tipe studi agama. Dua bentuk lainnya adalah pengkajian agama
sebagai suatu problema teoritis yang bersifat sentral dalam memahami tindakan
sosial, dan agama dilihat dari pertautannya dengan kawasan kehidupan sosial
lainnya, sepertiekonomi, politik, dan kelas sosial.
a. Agama
dan perkembangan ekonomi
Hubungan
agama dan ekonomi dilihat dari dua pendekatan. Pertama, pusat perahatian
diletakkan pada kepercayaan sekte atau golongan agama dan pada karakterisrik
moral serta motivasi yang ditimbulkan. Pendekatan kedua, tekanan awalnya
diletakkan pada perubahan sosial dan ekonomi yang menyebabkan adanya suatu
kelompok, gerakan sosial yang kemudian muncul dianggap sebagai reaksi terhadap
perubahan itu. Weber menjelaskan bahwa puritanisme Eropa itu unik. Di Cina,
meski punseni dan kerajinannya maju dan tradisi besar tentang kehidupan kota,
keuangan sering salah kelola, tidak ada sistem pembukuan yang memadai bagi
keperluan pengawasan dan pengantian modal fisik. Meskipun pemikiran Cina sangat
rasional, baik dalam Konfusianisme maupun Taoisme yang ortodoks maupun dalam
aliran-aliran heterodoks seperti Budhaisme, ada toleransi terhadap kekuatan
magis.
Berpaling
ke India, Weber menganalisis kehidupan Hindu khusunya sistem kasta dan
gerakan-gerakan protes terhadap Hinduisme ortodoks kaum Brahana, khusunya
Budhisme. Kepercayaan tertentu atau ritual itu sendiri merupakan hambatan yang
tak teratasi bagi pembangunan ekonomi. Misalnya, orang-orang yang berbeda kasta
sulit bekerja dalam lingkup yang sama (satu pabrik). Pada Tahun 1981, Higgins
melakukan penelitian sama dengan penelitian Ellen mengenai korelasi agama
dengan pendapatn perkapita. Hasilnya, agama protestan menempai posisi tertinggi
pendapatan perkapintanya yang bernilai diatas 7000 dolar, katolik dibawahnya,
dan negara yang mayoritas agamanya Islam, Hindu, Budha, dan suku di Afrika
menempati peringkat kelas menengah kebawah dengan pendapat perkapitanya kurnag
dari 500 dolar. Label agama juga mempengaruhi tampilan dari institusi keuangan.
Muncul banyak lembaga keuangan yang berlabelkan agama, label syari’ah di
Indonesia mendapatkan perhatian khusus bagi interaksi sosial di ranah ekonomi
dalam kajian sosiologis.
b. Agama
dan perubahan sosial
Perubahan
sosial merupakan kenyataan yang dibuktikan oleh gejala-gejala seperti
depersonalisasi, adanya frustasi, dan apati (kelumpuhan mental), pertentangan
dan perbedaan pendaat generation gap.
Perubahan sosial menjadi nyata sebagai gelombang ketidakseimbangan antarsatuan
sosial dalam masyarakat. Penyebab perubahan sosial seperti ilmu pengetahuan,
kemajuan teknologi yang kaitannya dengan penggunaannya, komunikasi,
transportasi, urbanisasi, tuntutan masyarakat, dan lain-lain. Perubahan sosial
dapat bersifat positif dan negatif. Pada umunya motivasi disebabkan oleh
kemajuan teknologi, akan tetapi setiap kemajuan menimbulkan akibat maka akan
mengubah penilaian seseorang terhadap sesuatu.
Pada
perubahan yang multikompleks ini dengan sendirinya ada dua kemungkinan yaitu :
pertama, bahwa manusia menemukan sistem nilai dan falsafah hidup yang baru.
Kedua, manusia tenggelam dalam persoalan-persoalan yang dihadapinya dan tidak
dapat mengambil sikap terhadap keadaan baru.
B.
Implementasi
Pemaknaan Agama dalam Masyarakat di era Globalisasi
1. Agama
Kristen (Protestan dan Katolik)
Pergeseran
nilai-nilai yang didoktrin oleh agama perlahan muncul dipermukaan salah satunya
disebabkan oleh globalisasi. Contohnya di lingkup keluarga seorang Peran Agama Dalam Era Globalisas dan
Modernisas serta Kaitannya dengan Ketahanan dan Peranan Keluarqa : Sudut
Pamdanq Agama Kristen yang
diteliti oleh Dr. Alex Peat menjelaskan bahwa
adanya beberapa hal yang terjadi yaitu goncangnya lembaga perkawinan: poligami,
perceraian, kumpul kebo, kawin paksa, perkosaan, homophili; meluruhnya cinta
suami istri : egoisme, hedonisme, cara-cara machiavelis (tujuan menghalalkan cara
: abortus, sterilisasi paksa); faktor penghambat luar keluarga: keadaan
ekonomis, hukum, ledakan penduduk, keadaan sosio-psikologis (struktur patriarki
ke nuclear family, pandangan perceraian yang permisif, komersialisasi
seks).
UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan menegaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhan Yang Maha Esa. Pada
pernyataan tersebut tersirat bahwa perkawinan bukan kebahagiaan tetapi kesatuan
dengan ikatan lahir batin antara suami-istri dalam membentuk keluarga, untuk
itu suami-istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangakan kepribadiannya mencapai kesatuan sejati dalam perkawinan.
Nilai-nilai agama yang dipertahankan seperti kesatuan suami-istri, buah-buah
perkawinan, lembaga yang didirikan Tuhan.
a. Kesatuan
suami-istri
Injil
menegaskan “mereka bukan lagi dua melainkan satu” (Mrk 10,8; cfr. Kej 2,24).
Kesatuan suami-istri ini mempunyai akarnya dalam kodrat pria-wanita yang saling
melengkapi, dan dikembangkan lewat kesanggupan pribadi masing-masing untuk
saling membagi seluruh kehidupan mereka. Kesatuan suami-istri itu oleh Konsili
Vatikan II disebut Communitas Amoris, persekutuan
hidup. ini berarti kesatuan suami-istri tidak direduksi ke dalam hubungan
persetubuhan belaka.
b. Buah-buah
perkawinan
Pada
dasarnya hubungan cinta suami istri yang diwujudkan dalam hubungan seksual
mengarah pada buah-buah perkawinan yakni lahirnya anak-anak. Jadi, tugas utama
suami istri dan keluarga adalah melayani kehidupan.
c. Lembaga
yang didirikan Tuhan
“Perkawinan
itu ikatan seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri...”(UU
No. 1 Thn 1974 Tentang Perkawinan). Perkawinan itu harus monogami.
2. Agama
Islam
Salah
satu contohnya adalah pergeseran makna dan pelaksanaan pesantren dalam
kehidupan modern. Pesantren bukan lagi merupakan lembaga yang mengajarkan
khusus nilai-nilai agama namun juga mata pelajaran umum sama dengan lembaga
pendidikan yang lain. Sejalan dengan globalisasi dengan kemajuan teknologi,
pesantren juga berkembang agar bisa diterima oleh masyarakat luas. Tidak hanya
pelajaran salafi namun juga pelajaran global sehingga para santri dipersiapkan
untuk menjalani kehidupan global dengan cara-cara lokal. Think globaly act localy sering digembor-gemborkan untuk membentuk
identitas baru masyarakat pesantren di era globalisasi.
Dampak
hal ini bersifat positif dan negatif. Pada pesantren yang telah menerima
ilmu-ilmu baru maka santrinya akan mempunyai wawasan luas sehingga muncul sikap
kritis dan motivasi yang tinggi untuk hidupnya. Kegagalannya apabila nilai
agamanya tidak berkembang cepat dengan ilmu sains nya maka pembentukan moral
yang sesuai dengan ajaran agama tentunya akan terdominansi oleh ajaran sains
yang terkadang tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianut khusunya
nilai-nilai dalam agama Islam.
3. Agama
Hindu
Salah
satu masyarakat yang mayoritas beragama Hindu adalah di pulau Bali, dahulu
masyarakat sangat kental dengan sistem kasta. Akan tetapi dengan adanya
pengaruh globalisasi dan modernisasi maka perlahan sistem kasta mulai tidak
diberlakukan lagi, dan ada kelonggarn-kelonggaran. Contoh lain yaitu ketika ada
upaca peringatan hari Imlek di Candi Borobudur, dimana seharusnya upacara itu
berjalan hikmat, akan tetapi seiring berkembangnya jaman ada nilai-nilai yang
bergeser dalam prosesi upacara tersebut, misalnya banyak pengunjung yang
mendokumentasikan upacara tersebut untuk kepentingan ekonomi sehingga upacara
tersebut menjadikan berkurangnya nilai kesakralan dari prosesi upacara
tersebut. Contoh lain yaitu adanya konflik Homo-Aiqualis dan Homo-hierarchicus.
Kelompok Homo-Aiqualis dengan ideologi egalitarianisme ingin melihat masyarakat
Bali yang demokratis, tanpa adanya diskriminasi atas dasar keturunan. Di lain
pihak kelompok Homo-hierarchicus dengan segala upaya mempertahankan status quo
hierarki tradisionalnya. Dari sini kita melihat bahwa kelompok Homo-Aqualis
telah terpengaruh oleh prinsip-prinsip demokrasi karena adanya.
4. Agama
Budha
Agama
ini mengajrkan bahwa seseorang harus menemukan pengertian tentang kehidupan
meski tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.Seorang rahib dapat menghabiskan
seluruh waktu hidupnya dengan melakukan meditasi yang menggunakan sebuah
kalimat atau kata yang disebut koan.Koan
adalah suatu teka-teki yang tidak mempunyai jawaban yang populer adalah “suara
apakah yang timbul dari bertepuk sebelah tangan? Orang-orang Buddha Zen sering
membuat taman-taman yang indah sebagai alat bantu untuk melakukan meditasi.
Pergeseran yang ada di dalam agama Buddaha karena adanya pengaruh globalisasi
yaitu adanya pergeseran nilai kebenaran. Dimana norma dan nilai-nilai mulai
dilanggar, contohnya saja pergaulan yang ada di masyarakat khususnya muda-mudi
yang melanggar norma asusila dan tidak lagi mengindahkan aturan-aturan yang
berlaku.
5. Agama
Konghucu
Konghucu
mengajarkan bahwa surga dan bumi menjadi harmonis jika semua orang
mematuhi mereka yang berada di atas dan membagi dengan pantas
kepada mereka yang berada di bawah. Berkenaan dengan masyarakat hierarkis yang
benar maka anak laki-laki harus patuh kepada ayah, istri, harus patuh kepada
suami, rakyat harus patuh kepada kaisar, dan kaisar harus mematuhi surga.
Globalisasi
mempengaruhi sebuah proses asmilasi, dan asimilasi memberikan dampak pada
pergeseran nilai-nilai pada kehidupan beragama ajaran konghucu, dapat dilihat
pada perayaan Cap Go Meh
yang merupakan festival lampion dan pesta onde-onde. Perlahan-lahan, ciri ini
mendapat bentukanya dalam konteks budaya Indonesia. Pesta onde-onde mulai
bergeser dan digantikan dengan makan lontong atau ketupat. Sebuah proses budaya
sekaligus menunjukkan bahwa etnis Tionghoa telah mengakar dapat budaya
Indonesia. Pesta lampion masih terjadi di beberapa daerah, tetapi itu sebatas
pada tempat-tempat tertentu. Pesta lampion ini cenderung bergeser menjadi
sebuah perayaan atau lebih tepat disebut sebagai gelar budaya. Dari sebuah
perayaan yang berpusat di tempat ibadat bergeser ke ruang publik. Sadar atau
tidak sadar, pergeseran tempat ini pun membawa sebuah pergeseran nilai. Ketika
sebuah perayaan diadakan di sebuah tempat ibadat maka nilai religiusnya menjadi
semakin kuat. Ketika perayaan mulai bergeser ke area pubik, maka nilai
religiusnya menjadi semakin berkurang. Sebuah perayaan yang dilangsungkan di
tempat publik maka menjadi milik publik. Siapa pun bisa ikut menikmatinya tanpa
takut terjebak pada nilai religius yang dihayatinya.
C.
Peranan
dan Tantangan Agama dalam Sains dan Teknologi
Hubungan antara agama dan sains dalam
sejarah peradaban manusia sangatlah erat. Hubungan ini sangat penting karena
peradaban umat manusia tidak lepas dari pergumulan berbagai nilai, termasuk
nilai sains dan agama. Setiap ada penemuan baru dalam sains, selalu menimbulkan
gejolak tertentu dalam masyarakat beragama karena mereka belum memiliki
perangkat baru untuk menyesuaikan diri dengan penemuan tersebut, sementara
perangkat dan nilai-nilai lama belum siap untuk berubah. Benturan antara
nilai-nilai baru dengan nilai-nilai lama tidak saja menimbulkan gejolak, tetapi
sekaligus menimbulkan kebingungan dan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan.
Gejolak antara sains dan agama terjadi
pada era renaisans. Gereja pada masa pertengahan sangat berkuasa dan dominan,
tidak saja dalam lapangan agama, tetapi juga dalam lapangan ilmiah. Tradisi
ilmiah yang sebenarnya tidak baku dan statis menjadi sakral dan tidak boleh
diubah. Oleh karena itu, ketika Nicolaus Copernicus dan Galileo menemukan teori
bahwa bumi itu pusat jagad raya, tetapi mataharilah yang merupakan pusat jagad
raya, kalangan gereja sangat marah karena teori tersebut bertentangan dengan
doktrin “ilmiah” gereja. Ketegangan ini rupanya merupakan cikal bakal sekulerisme
di Barat. Agamawan berjalan menurut kebenaran dan doktrin gereja, sedangkan
ilmuwan berjalan sesuai dengan struktur dan ukuran rasional empiris. Akibatnya
antara agama dan ilmu tidak akan bersinggungan, sehingga sains di Barat menjauh
dari agama. Dari sini muncul semboyan sains, atau sains yang bebas nilai.
Menurut Harun Nasution, pemakaian sains tidak dikontrol oleh agama. Sains
dikembangkan demi sains tanpa mengindahkan kerusakan yang dibawanya
kemasyarakat, menurut para saintis, bukanlah urusan mereka, tetapi itu adalah
masalah kaum agama dan moralis. Padahal kaum agama dan moralis di Barat boleh
dikatakan tidak ada pengaruhnya lagi. Seiring dengan kemajuan sains dan
teknologi di Barat, nilai-nilai agama secara berangsur-angsur juga bergeser bahkan
berseberangan dengan ilmu. Bagi sebagian ilmuan di Barat agama di anggap
penghalang kemajuan. Mereka beranggapan, jika ingin maju, agama tidak boleh
lagi mengurusi masalh-masalh yang berkaitan dengan dengan dunia, seprti politik
dan sains. Para pemikir dan saintis sering mengemukakan nada minor terhadap
agama, baik pada awal munculnya era industrialisasi maupun pada dekade
belakangan ini. Karl Marx terkenal dengan pernyataanya bahwa agama adalah candu
masyarakat. August Comte menyatakan bahwa agama hanya cocok untuk masyarakat
yang masih primitif dan terbelakang. Sekarang, menurut Comte, adalah era
positivisme, yang semua kejadian dapat diukur dan diterangkan dengan rasional.
Bahkan para saintis suatu saat berpendapat bahwa pencarian untuk menemukan ‘kebenaran’
akan membawa suatu kecenderungan utama untuk menyembah sains ketimbang agama.
Kecenderungan ini memuncak pada filsafat sekuler ‘Tuhan sudah mati’ yang
diungkapkan oleh teolog radikal Thomas J.J Altizer di tahun 1960 dan 1970-an.
Sekarang, dengan pandangan milenium, kekuatan kecenderungan berbalik, menuju
kebangkitan agama dan menyangkal kepercayaan yang buta terhadap sains dan
teknologi.
Menurut B.R Wilson, agama terlibat
sedikit dalam masyarakat. Namun, dia mengakui terlalu pagi untuk mengatakan
bahwa masyarakat modern dapat berfungsi tanpa agama. Sementara itu, Sultan
Takdir Alisjahbana, berpendapat bahwa dalam era globalisasi dan informasi yang
semakin terbuka, agama dapat memerankan diri dalam bidang moral dan etika.
Sebab, agama selalu mengaitkan segala aktivitas mansia kepada keadaan kekudusan
Tuhan dan memberikan kepadanya perasaan kekecilan dan penyerahan. Menurut harun
Nasuition, Agama dan sains mengahdapi persoalan yang cukup rumit ketika
berhadapan dengan situasi dimana perkembangan zaman berjalan begitu cepat. Satu
sisi sins di Barat berkembang dengan pesatnya, tetapi jauh dari jiwa agama,
sehingga yang terjadi adalah sains yang sekuler. Sebaliknya, di Timur
masyarakatnya taat beribadah, tetapi lemah moralnya, sehingga muncul bentuk ‘sekulerisasi’
juga dalam umat beragama. Harun Nasution memberikan alternatif untuk mangatasi
persoalan tersebut. Pertama,
menyesuaikan filsafat dan sains sekuler dengan ajaran dasar agama, sehingga
yang berkembang di dunia bukan filsafat dan sains yang sekuler, tetapi filsafat
dan sains yang agamis. Kedua,
mengutamakan pendidikan moral umat beragama, di samping pengajaran ibadat dan
syariat, sehingga tercitalah umat yang berakhlak mulia.
BAB
III
Kesimpulan
Dalam era globalisasi dan informasi,
agama, menurut para saintis dan sosiolog akan mengalami perubahan dan benturan
nilai. Para saintis yang sekuler melihat agama pada era globalisasi akan hilang
atau tidak berfungsi lagi, sebaliknya sains dan teknologi akan menggantikan
agama. Adapun sosiolog dan futurolog, seperti B.R Wilson dan John Naisbitt
berpendapat bahwa agama akan bergeser dari agama utama menjadi agama pinggiran
dan sekterian. Dalam era globalisasi dan informasi yang begitu terbuka,
perubahan jelas terjadi dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia. Bukan
aspek agama saja yang berubah, tetapi aspek ekonomi, politik, seni, dll. Dengan
demikian, agama sebaiknya merumuskan suatu fungsi global bagi seluruh umat
manusia. Fungsi global yang dapat diperankan oleh agama adalah meningkatkan
kesadaran spiritualitas dan moralitas umat manusia.
Pada
hakikatnya, sebagai landasan spiritual, agama berfungsi untuk membangun
kesadaran dan memberi pengetahuan bahwa seluruh hasil sains dan teknologi
diarahkan untuk membesarkan dan memuliakan nama Tuhan. Saains dan teknologi
bukan malah mengungkung dan dan merendahkan derajat manusia, tetapi sains dan
teknologi harus selalu tunduk kepada manusia sebagai khalifah Allah di muka
bumi.
Selanjutnya
sains dan teknologi semestinya menyesuaikan diri juga dengan pesan-esan moral
agama. Karena itu, setiap usaha untuk menemukan atau mencari kebenaran ilmiah
seharusnya didasari atas iman dan moral agama bukan pada filsafat pengetahuan
saja. Dengan demikian sains dan teknologi tidk bebas nilai. Teknologi adalh
alat yang denganya sains dapat diterapkan untuk menghasilkan barang dan jasa.
Di samping itu sains dan teknologi digunakan untuk memenuhi keinginan manusia,
sehingga sains dan teknologi tidak bebas nilai sebab keinginan manusia bersifat
subjektif.
DAFTAR PUSTAKA
Budi
Winarno. 2008. Globalisasi Peluang atau
Ancaman bagi Indonesia. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Drs.
Ishomuddin, M.Si. 2002. Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia
Prof.
Dr. Amsal Bakhtiar, M.A.2012. Filsafat
Agama. Jakarta : Rajawali Pers
Prof.
Dr. H.Jalaludin. 2010. Psikologi Agama.
Jakarta: Rajawali Pers
http://www.fe.unpad.ac.id/id/arsip-fakultas-ekonomi-unpad/opini/2272-agama-dan-globalisasi
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/24546/prosiding_keluarga_menyongsong_abad_21-5.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar