Minggu, 23 Juni 2013

agama dan globalisasi



BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar belakang
Fenomena globalisasi seperti yang terjadi saat ini mempunyai dampak negatif maupun positif. Dampak positif dari adanya globalisasi seperti yang kita tahu yaitu memberikan kemudahan bagi kehidupan kita, seperti  informasi mudah didapat, sarana komunikasi dan transportasi juga lebih mudah diakses. Dampak negatifnya sendiri misal saja dari penggunaan internet, dengan kemudahan akses informasi melalui internet, apabila tidak disikapi dengan bijak maka akan berdampak negatif pada ketergantungan dengan internet, bahwa kehidupan lebih banyak diluangkan pada dunia maya, dibanding dengan kehidupan pada dunia nyata.
Globalisasi juga memberi dampak positif dan negatif terhadap aspek agama. Globalisasi apabila dilihat dari segi positif memberikan dampak pada proses penyebaran informasi terkait dengan pengetahuan keagamaan, sehingga para umat beragama menjadi luas wawasan dan pengetahuannya dalam ilmu agama. Kehadiran globalisasi juga menumbuhkan jaringan sosial antar satu umat beraga dengan umat yang lain, hal ini dapat direspon positif yaitu memberi peluang untuk membentuk dialog antar umat beragama, sehingga toleransi dapat dipertahankan. Namun dampak negatif dari globalisasi pada aspek keagamaan yaitu mempengaruhi pergeseran makna agama. Misal agama yang dahulu dipandang sebagai sesuatu yang sakral, tetapi dengan pengaruh globalisasi kesakralan menjadi berkurang, hal ini mungkin dari pengaruh meningkatnya rasionalitas masyarakat dalam pemahaman agama.
            Pergeseran mengenai nilai-nilai agama juga dipengaruhi dengan semakin banyaknya ideologi yang dipahami, globalisasi lah yang menyebabkan persebaran ideologi-ideologi tersebut keseluruh masyarakat. Dengan demikian terjadinya proses globalisasi juga memberi dampak positif negatif bagi suatu agama.
2.      Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan globalisasi dan agama?
2.      Bagaimana implementasi pemaknaan agama dalam masyarakat di era globalisasi?
3.      Bagaimana peranan dan tantangan agama dalam sains dan teknologi?
3.      Tujuan Makalah
1.      Agar pembaca mengetahui pengaruh globalisasi dalam agama.
2.      Agar pembaca mengetahui implementasi pemaknaan agama dalam masyarakat di era globalisasi.
3.      Agar pembaca mengetahui peranan dan tantangan agama dalam sains dan teknologi.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Agama dan Globalisasi
Kata globalisasi kerap diidentikan dengan kemajuan terutama dalam bidang teknologi dan informasi yang tanpa batas. Kedua bidang tersebut memberi dampak pada bidang lainnya seperti budaya, pendidikan, hukum, ekonomi, sosial, politik kemudian keseluruhan distandartkan dalam sistem yang mendunia. Menurut Faisal globalisasi sebaai proses sejarah sekaligus sebuah tren ekonomi. Beliau menuturkan bahwa tahap globalisasi mengikuti siklus 30 tahunan yang dimulai pada tahun 1945 dengan globalisasi politik, terbentuknya Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), kedua globalisasi ekonomi sekitar tahun 1970-an ditandai lahirnya APEC, AFTA, NAFTA, dll. Ketiga, globalisasi budaya yang dimulai sekitar ertengahan tahun 2000-an  sering terjadi penguatan budaya lokal karena setiap bangsa ingin mempertahankan budaya sendiri. Berbagai globalisasi bidang tersebut kemudian diprediksikan ada kemungkinan tahun 2030-an terjadi globalisasi pendidikan yang  salah satu implemenstasinya banyak perguruan tinggi asal negara maju yang memiliki cabang di sejumlah negara lain. Pada wacana ini kemudian muncul kekawatiran apabila pendidikan dikendalikan oleh negara sekuler maka lembaga pendidian yang berlabel agamis di seluruh dunia akan mendapat tantangan besar sehingga pertlu sebuah pendidikan aama, sains, dan teknologi yang menghidupkan intelektual di negara-negara yang menerapkan pendidikan berlabel agamis yang relatif stagnan.
Negara Indonesia juga salah satu negara yang mendapatkan dampak dari globalisasi dalam berbagai bidang. Fenomena yang muncul dalam masyarakat tidak dapat dielakan bahwa hal tersebut merupakan implemntasi dari gencarnya kemajuan teknologi dan informasi. Tren-tren dalam skala ekonomi memberikan warna baru bagi pemikiran kaum intelektual yang lebih terbuka dalam menerima perkembangan karena bentuk pilihan-pilihan yang harus diambil sebagai kelangsungan hidup. di bidang pendidikan mislanya sarana dan prasarana selalu bercermin dengan segala kemajuan dengan dalil kemudahan serba canggih. Kebutuhan primer akan pendidikan yang sedang berproses mengalami gejolak globalisasi memberi sumbangan baru dalam pemikiran agama yang dianutnya baik individu maupun kelompok. Pemaknaan mengenai agama sangat variatif sehingga kebebasan sangat diagungkan, makna toleransi menjadi bergeser dari pelajaran budi pekerti yang pada masa orde baru semuanya harus seragam, sama, dan satu pemikiran bahkan bentuk tindakannya. Konsep globaliasai sangat bertentangan dengan konsep masa orde baru yang semua dengan aturan dan meng”harus”kan semua aspek dengan ketentuan pemimpin. Konsep globalisasi memuculkan banyak lokal-lokal wisdom yang kemudian menjadi tren (globaliasai budaya). Pemaknaan agama sangat erat dengan pemaknaan budaya, bahkan keduanya berjalan beriringan sehingga ketika budaya itu sendiri telah mengalami globaliasai begitu pula pemahaman agama.
Agama yang dikemukakan oleh EB Taylor (1832 – 1917) adalah religion is the belief in spiritual being” .
Harun Nasution menjelaskan agama sebagai
1.      Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2.      Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3.      Mengikatkan diri pada satu bentuk hidup yang mengandung pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4.      Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5.      Suatu system tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari kekuatan gaib.
6.      Pengakuan terhadap adanya-kewajiban-kewajiban yang diyakin bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7.      Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8.      Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul.
Koentjaraningrat menyebut aspek kehidupan beragama dengan komponen religi. Menurut Koentjaraningrat ada lima komponen religi;
1.      Emosi Keagamaan
2.      Sistem Keyakinan
3.      Sistem Ritus dan Upacara
4.      Peralatan Ritus dan Upacara
5.      Umat Beragama

Definisi agama yang sangat multitafsir ini di era globalisasi, karena informasi sangat mudah didapat tidak sedikit masyarakat yang kemudian sudah terbiasa dari ajaran yang tatap muka baik melalui pendidikan agama secara formal, informal, maupun nonformal akhirnya mempunyai definisi sendiri dan menjalani hidupnya dengan apa yang diyakini. Pada pengertian ini kemudian banyak sekali bentuk implembtasi agama yang condong ke arah modernisasi diri mengikuti informasi apa yang telah individu itu dapatkan dan yakini.
Globalisasi juga erat kaitannya dengan modernitas. Hal-hal yang baru dan bersifat kebaratan dan diangap rasional karena dibuktikan dengan metode yang telah disepakati bersama merupakan alat pergeseran makna utama agama dalam arus globalisasi terkait modernitas. Bagi bangsa Indonesia mengedealisasikan peranan agama dalam pembentukan budaya dan kepribadian bangsa adalah wajar, karena agama memang memiliki akar ynag kokoh dalam, hampir segala untuk tidak menyebut seluruh subkultur yang ada di Indonesia, konon sejak zaman dahulu kala. Dengan kata lain, bagi bangsa Indonesia agama telah menjadi salah satu unsur yang paling dominan dalam sejarah peradaban kita, termasuk di dalamnya era modern ini, dan bahkan diduga keras akan tetap berpengaruh di masa depan.
Perubahan tentang organisasi dan gerakan-gerakan agama dilihat dari perspektif teori sosiologis merupakan salah satu diantara tipe studi agama. Dua bentuk lainnya adalah pengkajian agama sebagai suatu problema teoritis yang bersifat sentral dalam memahami tindakan sosial, dan agama dilihat dari pertautannya dengan kawasan kehidupan sosial lainnya, sepertiekonomi, politik, dan kelas sosial.
a.       Agama dan perkembangan ekonomi
Hubungan agama dan ekonomi dilihat dari dua pendekatan. Pertama, pusat perahatian diletakkan pada kepercayaan sekte atau golongan agama dan pada karakterisrik moral serta motivasi yang ditimbulkan. Pendekatan kedua, tekanan awalnya diletakkan pada perubahan sosial dan ekonomi yang menyebabkan adanya suatu kelompok, gerakan sosial yang kemudian muncul dianggap sebagai reaksi terhadap perubahan itu. Weber menjelaskan bahwa puritanisme Eropa itu unik. Di Cina, meski punseni dan kerajinannya maju dan tradisi besar tentang kehidupan kota, keuangan sering salah kelola, tidak ada sistem pembukuan yang memadai bagi keperluan pengawasan dan pengantian modal fisik. Meskipun pemikiran Cina sangat rasional, baik dalam Konfusianisme maupun Taoisme yang ortodoks maupun dalam aliran-aliran heterodoks seperti Budhaisme, ada toleransi terhadap kekuatan magis.
Berpaling ke India, Weber menganalisis kehidupan Hindu khusunya sistem kasta dan gerakan-gerakan protes terhadap Hinduisme ortodoks kaum Brahana, khusunya Budhisme. Kepercayaan tertentu atau ritual itu sendiri merupakan hambatan yang tak teratasi bagi pembangunan ekonomi. Misalnya, orang-orang yang berbeda kasta sulit bekerja dalam lingkup yang sama (satu pabrik). Pada Tahun 1981, Higgins melakukan penelitian sama dengan penelitian Ellen mengenai korelasi agama dengan pendapatn perkapita. Hasilnya, agama protestan menempai posisi tertinggi pendapatan perkapintanya yang bernilai diatas 7000 dolar, katolik dibawahnya, dan negara yang mayoritas agamanya Islam, Hindu, Budha, dan suku di Afrika menempati peringkat kelas menengah kebawah dengan pendapat perkapitanya kurnag dari 500 dolar. Label agama juga mempengaruhi tampilan dari institusi keuangan. Muncul banyak lembaga keuangan yang berlabelkan agama, label syari’ah di Indonesia mendapatkan perhatian khusus bagi interaksi sosial di ranah ekonomi dalam kajian sosiologis.
b.      Agama dan perubahan sosial
Perubahan sosial merupakan kenyataan yang dibuktikan oleh gejala-gejala seperti depersonalisasi, adanya frustasi, dan apati (kelumpuhan mental), pertentangan dan perbedaan pendaat generation gap. Perubahan sosial menjadi nyata sebagai gelombang ketidakseimbangan antarsatuan sosial dalam masyarakat. Penyebab perubahan sosial seperti ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi yang kaitannya dengan penggunaannya, komunikasi, transportasi, urbanisasi, tuntutan masyarakat, dan lain-lain. Perubahan sosial dapat bersifat positif dan negatif. Pada umunya motivasi disebabkan oleh kemajuan teknologi, akan tetapi setiap kemajuan menimbulkan akibat maka akan mengubah penilaian seseorang terhadap sesuatu.
Pada perubahan yang multikompleks ini dengan sendirinya ada dua kemungkinan yaitu : pertama, bahwa manusia menemukan sistem nilai dan falsafah hidup yang baru. Kedua, manusia tenggelam dalam persoalan-persoalan yang dihadapinya dan tidak dapat mengambil sikap terhadap keadaan baru.

B.     Implementasi Pemaknaan Agama dalam Masyarakat di era Globalisasi
1.      Agama Kristen (Protestan dan Katolik)
Pergeseran nilai-nilai yang didoktrin oleh agama perlahan muncul dipermukaan salah satunya disebabkan oleh globalisasi. Contohnya di lingkup keluarga seorang Peran Agama Dalam Era Globalisas dan Modernisas serta Kaitannya dengan Ketahanan dan Peranan Keluarqa : Sudut Pamdanq Agama Kristen yang diteliti oleh Dr. Alex Peat menjelaskan bahwa adanya beberapa hal yang terjadi yaitu goncangnya lembaga perkawinan: poligami, perceraian, kumpul kebo, kawin paksa, perkosaan, homophili; meluruhnya cinta suami istri : egoisme, hedonisme, cara-cara machiavelis (tujuan menghalalkan cara : abortus, sterilisasi paksa); faktor penghambat luar keluarga: keadaan ekonomis, hukum, ledakan penduduk, keadaan sosio-psikologis (struktur patriarki ke nuclear family, pandangan perceraian yang permisif, komersialisasi seks).
UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menegaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhan Yang Maha Esa. Pada pernyataan tersebut tersirat bahwa perkawinan bukan kebahagiaan tetapi kesatuan dengan ikatan lahir batin antara suami-istri dalam membentuk keluarga, untuk itu suami-istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangakan kepribadiannya mencapai kesatuan sejati dalam perkawinan. Nilai-nilai agama yang dipertahankan seperti kesatuan suami-istri, buah-buah perkawinan, lembaga yang didirikan Tuhan.
a.    Kesatuan suami-istri
Injil menegaskan “mereka bukan lagi dua melainkan satu” (Mrk 10,8; cfr. Kej 2,24). Kesatuan suami-istri ini mempunyai akarnya dalam kodrat pria-wanita yang saling melengkapi, dan dikembangkan lewat kesanggupan pribadi masing-masing untuk saling membagi seluruh kehidupan mereka. Kesatuan suami-istri itu oleh Konsili Vatikan II disebut Communitas Amoris, persekutuan hidup. ini berarti kesatuan suami-istri tidak direduksi ke dalam hubungan persetubuhan belaka.
b.    Buah-buah perkawinan
Pada dasarnya hubungan cinta suami istri yang diwujudkan dalam hubungan seksual mengarah pada buah-buah perkawinan yakni lahirnya anak-anak. Jadi, tugas utama suami istri dan keluarga adalah melayani kehidupan.
c.    Lembaga yang didirikan Tuhan
“Perkawinan itu ikatan seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri...”(UU No. 1 Thn 1974 Tentang Perkawinan). Perkawinan itu harus monogami.
2.      Agama Islam
Salah satu contohnya adalah pergeseran makna dan pelaksanaan pesantren dalam kehidupan modern. Pesantren bukan lagi merupakan lembaga yang mengajarkan khusus nilai-nilai agama namun juga mata pelajaran umum sama dengan lembaga pendidikan yang lain. Sejalan dengan globalisasi dengan kemajuan teknologi, pesantren juga berkembang agar bisa diterima oleh masyarakat luas. Tidak hanya pelajaran salafi namun juga pelajaran global sehingga para santri dipersiapkan untuk menjalani kehidupan global dengan cara-cara lokal. Think globaly act localy sering digembor-gemborkan untuk membentuk identitas baru masyarakat pesantren di era globalisasi.
Dampak hal ini bersifat positif dan negatif. Pada pesantren yang telah menerima ilmu-ilmu baru maka santrinya akan mempunyai wawasan luas sehingga muncul sikap kritis dan motivasi yang tinggi untuk hidupnya. Kegagalannya apabila nilai agamanya tidak berkembang cepat dengan ilmu sains nya maka pembentukan moral yang sesuai dengan ajaran agama tentunya akan terdominansi oleh ajaran sains yang terkadang tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianut khusunya nilai-nilai dalam agama Islam.
3.      Agama Hindu
Salah satu masyarakat yang mayoritas beragama Hindu adalah di pulau Bali, dahulu masyarakat sangat kental dengan sistem kasta. Akan tetapi dengan adanya pengaruh globalisasi dan modernisasi maka perlahan sistem kasta mulai tidak diberlakukan lagi, dan ada kelonggarn-kelonggaran. Contoh lain yaitu ketika ada upaca peringatan hari Imlek di Candi Borobudur, dimana seharusnya upacara itu berjalan hikmat, akan tetapi seiring berkembangnya jaman ada nilai-nilai yang bergeser dalam prosesi upacara tersebut, misalnya banyak pengunjung yang mendokumentasikan upacara tersebut untuk kepentingan ekonomi sehingga upacara tersebut menjadikan berkurangnya nilai kesakralan dari prosesi upacara tersebut. Contoh lain yaitu adanya konflik Homo-Aiqualis dan Homo-hierarchicus. Kelompok Homo-Aiqualis dengan ideologi egalitarianisme ingin melihat masyarakat Bali yang demokratis, tanpa adanya diskriminasi atas dasar keturunan. Di lain pihak kelompok Homo-hierarchicus dengan segala upaya mempertahankan status quo hierarki tradisionalnya. Dari sini kita melihat bahwa kelompok Homo-Aqualis telah terpengaruh oleh prinsip-prinsip demokrasi karena adanya.
4.      Agama Budha
Agama ini mengajrkan bahwa seseorang harus menemukan pengertian tentang kehidupan meski tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.Seorang rahib dapat menghabiskan seluruh waktu hidupnya dengan melakukan meditasi yang menggunakan sebuah kalimat atau kata yang disebut koan.Koan adalah suatu teka-teki yang tidak mempunyai jawaban yang populer adalah “suara apakah yang timbul dari bertepuk sebelah tangan? Orang-orang Buddha Zen sering membuat taman-taman yang indah sebagai alat bantu untuk melakukan meditasi. Pergeseran yang ada di dalam agama Buddaha karena adanya pengaruh globalisasi yaitu adanya pergeseran nilai kebenaran. Dimana norma dan nilai-nilai mulai dilanggar, contohnya saja pergaulan yang ada di masyarakat khususnya muda-mudi yang melanggar norma asusila dan tidak lagi mengindahkan aturan-aturan yang berlaku.
5.      Agama Konghucu
Konghucu mengajarkan bahwa surga dan bumi menjadi harmonis jika semua orang mematuhi  mereka yang  berada di atas dan membagi dengan pantas kepada mereka yang berada di bawah. Berkenaan dengan masyarakat hierarkis yang benar maka anak laki-laki harus patuh kepada ayah, istri, harus patuh kepada suami, rakyat harus patuh kepada kaisar, dan kaisar harus mematuhi surga.
Globalisasi mempengaruhi sebuah proses asmilasi, dan asimilasi memberikan dampak pada pergeseran nilai-nilai pada kehidupan beragama ajaran konghucu, dapat dilihat pada perayaan Cap Go Meh yang merupakan festival lampion dan pesta onde-onde. Perlahan-lahan, ciri ini mendapat bentukanya dalam konteks budaya Indonesia. Pesta onde-onde mulai bergeser dan digantikan dengan makan lontong atau ketupat. Sebuah proses budaya sekaligus menunjukkan bahwa etnis Tionghoa telah mengakar dapat budaya Indonesia. Pesta lampion masih terjadi di beberapa daerah, tetapi itu sebatas pada tempat-tempat tertentu. Pesta lampion ini cenderung bergeser menjadi sebuah perayaan atau lebih tepat disebut sebagai gelar budaya. Dari sebuah perayaan yang berpusat di tempat ibadat bergeser ke ruang publik. Sadar atau tidak sadar, pergeseran tempat ini pun membawa sebuah pergeseran nilai. Ketika sebuah perayaan diadakan di sebuah tempat ibadat maka nilai religiusnya menjadi semakin kuat. Ketika perayaan mulai bergeser ke area pubik, maka nilai religiusnya menjadi semakin berkurang. Sebuah perayaan yang dilangsungkan di tempat publik maka menjadi milik publik. Siapa pun bisa ikut menikmatinya tanpa takut terjebak pada nilai religius yang dihayatinya.

C.    Peranan dan Tantangan Agama dalam Sains dan Teknologi
Hubungan antara agama dan sains dalam sejarah peradaban manusia sangatlah erat. Hubungan ini sangat penting karena peradaban umat manusia tidak lepas dari pergumulan berbagai nilai, termasuk nilai sains dan agama. Setiap ada penemuan baru dalam sains, selalu menimbulkan gejolak tertentu dalam masyarakat beragama karena mereka belum memiliki perangkat baru untuk menyesuaikan diri dengan penemuan tersebut, sementara perangkat dan nilai-nilai lama belum siap untuk berubah. Benturan antara nilai-nilai baru dengan nilai-nilai lama tidak saja menimbulkan gejolak, tetapi sekaligus menimbulkan kebingungan dan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan.
Gejolak antara sains dan agama terjadi pada era renaisans. Gereja pada masa pertengahan sangat berkuasa dan dominan, tidak saja dalam lapangan agama, tetapi juga dalam lapangan ilmiah. Tradisi ilmiah yang sebenarnya tidak baku dan statis menjadi sakral dan tidak boleh diubah. Oleh karena itu, ketika Nicolaus Copernicus dan Galileo menemukan teori bahwa bumi itu pusat jagad raya, tetapi mataharilah yang merupakan pusat jagad raya, kalangan gereja sangat marah karena teori tersebut bertentangan dengan doktrin “ilmiah” gereja. Ketegangan ini rupanya merupakan cikal bakal sekulerisme di Barat. Agamawan berjalan menurut kebenaran dan doktrin gereja, sedangkan ilmuwan berjalan sesuai dengan struktur dan ukuran rasional empiris. Akibatnya antara agama dan ilmu tidak akan bersinggungan, sehingga sains di Barat menjauh dari agama. Dari sini muncul semboyan sains, atau sains yang bebas nilai. Menurut Harun Nasution, pemakaian sains tidak dikontrol oleh agama. Sains dikembangkan demi sains tanpa mengindahkan kerusakan yang dibawanya kemasyarakat, menurut para saintis, bukanlah urusan mereka, tetapi itu adalah masalah kaum agama dan moralis. Padahal kaum agama dan moralis di Barat boleh dikatakan tidak ada pengaruhnya lagi. Seiring dengan kemajuan sains dan teknologi di Barat, nilai-nilai agama secara berangsur-angsur juga bergeser bahkan berseberangan dengan ilmu. Bagi sebagian ilmuan di Barat agama di anggap penghalang kemajuan. Mereka beranggapan, jika ingin maju, agama tidak boleh lagi mengurusi masalh-masalh yang berkaitan dengan dengan dunia, seprti politik dan sains. Para pemikir dan saintis sering mengemukakan nada minor terhadap agama, baik pada awal munculnya era industrialisasi maupun pada dekade belakangan ini. Karl Marx terkenal dengan pernyataanya bahwa agama adalah candu masyarakat. August Comte menyatakan bahwa agama hanya cocok untuk masyarakat yang masih primitif dan terbelakang. Sekarang, menurut Comte, adalah era positivisme, yang semua kejadian dapat diukur dan diterangkan dengan rasional. Bahkan para saintis suatu saat berpendapat bahwa pencarian untuk menemukan ‘kebenaran’ akan membawa suatu kecenderungan utama untuk menyembah sains ketimbang agama. Kecenderungan ini memuncak pada filsafat sekuler ‘Tuhan sudah mati’ yang diungkapkan oleh teolog radikal Thomas J.J Altizer di tahun 1960 dan 1970-an. Sekarang, dengan pandangan milenium, kekuatan kecenderungan berbalik, menuju kebangkitan agama dan menyangkal kepercayaan yang buta terhadap sains dan teknologi.
Menurut B.R Wilson, agama terlibat sedikit dalam masyarakat. Namun, dia mengakui terlalu pagi untuk mengatakan bahwa masyarakat modern dapat berfungsi tanpa agama. Sementara itu, Sultan Takdir Alisjahbana, berpendapat bahwa dalam era globalisasi dan informasi yang semakin terbuka, agama dapat memerankan diri dalam bidang moral dan etika. Sebab, agama selalu mengaitkan segala aktivitas mansia kepada keadaan kekudusan Tuhan dan memberikan kepadanya perasaan kekecilan dan penyerahan. Menurut harun Nasuition, Agama dan sains mengahdapi persoalan yang cukup rumit ketika berhadapan dengan situasi dimana perkembangan zaman berjalan begitu cepat. Satu sisi sins di Barat berkembang dengan pesatnya, tetapi jauh dari jiwa agama, sehingga yang terjadi adalah sains yang sekuler. Sebaliknya, di Timur masyarakatnya taat beribadah, tetapi lemah moralnya, sehingga muncul bentuk ‘sekulerisasi’ juga dalam umat beragama. Harun Nasution memberikan alternatif untuk mangatasi persoalan tersebut. Pertama, menyesuaikan filsafat dan sains sekuler dengan ajaran dasar agama, sehingga yang berkembang di dunia bukan filsafat dan sains yang sekuler, tetapi filsafat dan sains yang agamis. Kedua, mengutamakan pendidikan moral umat beragama, di samping pengajaran ibadat dan syariat, sehingga tercitalah umat yang berakhlak mulia.




















BAB III
Kesimpulan

Dalam era globalisasi dan informasi, agama, menurut para saintis dan sosiolog akan mengalami perubahan dan benturan nilai. Para saintis yang sekuler melihat agama pada era globalisasi akan hilang atau tidak berfungsi lagi, sebaliknya sains dan teknologi akan menggantikan agama. Adapun sosiolog dan futurolog, seperti B.R Wilson dan John Naisbitt berpendapat bahwa agama akan bergeser dari agama utama menjadi agama pinggiran dan sekterian. Dalam era globalisasi dan informasi yang begitu terbuka, perubahan jelas terjadi dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia. Bukan aspek agama saja yang berubah, tetapi aspek ekonomi, politik, seni, dll. Dengan demikian, agama sebaiknya merumuskan suatu fungsi global bagi seluruh umat manusia. Fungsi global yang dapat diperankan oleh agama adalah meningkatkan kesadaran spiritualitas dan moralitas umat manusia.
Pada hakikatnya, sebagai landasan spiritual, agama berfungsi untuk membangun kesadaran dan memberi pengetahuan bahwa seluruh hasil sains dan teknologi diarahkan untuk membesarkan dan memuliakan nama Tuhan. Saains dan teknologi bukan malah mengungkung dan dan merendahkan derajat manusia, tetapi sains dan teknologi harus selalu tunduk kepada manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Selanjutnya sains dan teknologi semestinya menyesuaikan diri juga dengan pesan-esan moral agama. Karena itu, setiap usaha untuk menemukan atau mencari kebenaran ilmiah seharusnya didasari atas iman dan moral agama bukan pada filsafat pengetahuan saja. Dengan demikian sains dan teknologi tidk bebas nilai. Teknologi adalh alat yang denganya sains dapat diterapkan untuk menghasilkan barang dan jasa. Di samping itu sains dan teknologi digunakan untuk memenuhi keinginan manusia, sehingga sains dan teknologi tidak bebas nilai sebab keinginan manusia bersifat subjektif.







DAFTAR PUSTAKA
Budi Winarno. 2008. Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Drs. Ishomuddin, M.Si. 2002. Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A.2012. Filsafat Agama. Jakarta : Rajawali Pers
Prof. Dr. H.Jalaludin. 2010. Psikologi Agama. Jakarta: Rajawali Pers
http://www.fe.unpad.ac.id/id/arsip-fakultas-ekonomi-unpad/opini/2272-agama-dan-globalisasi
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/24546/prosiding_keluarga_menyongsong_abad_21-5.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar