BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Indonesia
merupakan Negara kepulauan dengan beragam suku bangsa, budaya dan agama yang
tersebar dari sabang sampai merauke.Keanekaragaman yang ada di Indonesia
membuat Indonesia dikenal sebagai Negara majemuk.Keanekaragaman yang dimiliki
Indonesia antara lain tertuang dalam berbagai kepercayaan atau agama yang
dipercaya masyarakat. Dari berbagai agama yang dianut masyarakat Indonesia
terdapat 6 agama yang diakui Negara sebagai agama yang sah antara lain Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Agama merupakan
sebuah kepercayaan yang dipercaya sebagai saluran komunikasi antara umat dengan
Tuhannya. Tentunya kepercayaan individu dengan individu yang lain terhadap
suatu agama berbeda satu sama lain, namun seluruh masyarakat wajib menghormati
dan menghargai pilihan masing-masing individu dalam menentukan agama yang akan
dianut. Untuk itu masyarakat Indonesia hendaknya tidak membeda-bedakan antara
umat pemeluk suatu agama satu dengan agama yang lainnya.Hendaknya setiap umat
beragama memiliki kedudukan sosial yang sama, baik umat dalam agama yang sama
mmaupun antar umat beragama.
Namun ternyata
asumsi tersebut tidak sepenuhnya terbukti.Dalam masyarakat Indonesia ternyata
terdapat stratifikasi atau tingkatan dalam keagamaan. Dalam sebuah agama saja
antara umat satu dengan umat lainnya diuangap memiliki tingkatan atau kedudukan
sosial yang berbeda dengan umat yang lainnya, padahal mereka menganut agama
yang sama. Hal iniah yang membuat penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih
lanjut mengenai startifikasi yang terjadi pada agama. Terutama kaitannya dengan
hal apa saja yang dijadikan kriteria seorang umat menempati status yang lebih
tinggi dari umat yang lain. Serta hal tersebut dikaitkan dalam pandangan
sosiologi mengingat basis peneliti berasal dari ilmu sosiologi.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan
masalahnya sebagai berikut:
1.
Bagaimana
pandangan agama dalam sosiologi?
2.
Bagaimana konsep
stratifikasi social?
3.
Bagaimana
hubungan antara agama dan stratifikasi social?
4. Bagaimana
kaitan antara agama, stratifikasi dan demokrasi?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas tujuan peneliti melakukan
penelitian tersebut antara lain:
1. Untuk
mengetahui pandangan agama dalam sosiologi
2. Untuk
mengetahui konsep stratifikasi sosial
3. Untuk
mengetahui hubungan antara agama dan stratifikasi sosial
4. Untuk
mengetahui kaitan antara agama, stratifikasi dan demokrasi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Agama Dan Pandangan Sosiologi
Agama adalah suatu ciri kehidupan
sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat menpunyai cara-cara
berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut sebagai
“agama”. Agama terdiri dari
tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana
makhluk manusia
menginterprestasikan,eksistensi mereka. Akan tetapi, karena agama juga
mengandung komponen ritual, maka sebagian agama tergolong juga dalam struktur
sosial. Seperti yang dikemukakan oleh Roland
robertson bahwa
ada dua jenis utama definisi
tentang agama yang telah disusuan oleh ilmuan sosial, yang inklusif dan yang
eksklusif. Definisi
inklusif merumuskan agama dalam arti seluas mungkin, yang memandangnya sebagai
setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan “kesucian”. Mereka melihat agama
sebagai bukan saja sistem-sistem yang seistik yang diorganisasikan sekitar
konsep tentang kekuasaan supernatural, tetapi juga berbagai sistem kepercayaan
nonteistik, seperti komunisme, nasionalisme dan humanisme. Sebaliknya definisi eksklusif
membatasi istilah agama itu pada sistem-sistem kepercayaan yang mempostualatkan
eksistensi makhluk,
kekuasaan, atau kekuatan supernatural.
Ada empat
unsur agama yaitu:
1. Pengakuan
bahwa ada kekuatan gaib yang menguasai atau mempengaruhi kehidupan manusia.
2. Keyakinan
bahwa keselamatan hidup manusia tergantung pada adanya hubungan baik antara
manuasia dan kekuatan gaib itu.
3. Sikap
emosional pada hati manusia
terdapat kekuatan gaib itu, seperti sikap takut, hormat, cinta, penuh harapan,
pasrah.
4. Tingkah
laku tertentu yang dapat diamati seperti sholat, doa, puasa, suka menolong,
tidak korupsi
B.
Pengertian Stratifikasi Sosial
Stratifikasi
sosial merupakan pembedaan masyarakat ke dalam kelas yang tersusun secara
bertingkat. Stratifikasi sosial juga sering disebut sebagai pelapisan sosial.
Pelapisan sosial terjadi karena ada sesuatu yang dihargai lebih atas penilaian
kelompok, seperti kekayaan, kekuasaan, keturunan (kehormatan) dan ilmu
pengetahuan (pendidikan). Stratifikasi sosial juga dapat dianggap sebagai
pembedaan sosial yang bersifat vertikal karena adanya pelapisan ke dalam
kelas-kelas tertentu yang dianggap lebih tinggi.Dalam
teori sosiologi, unsur-unsur sistem stratifikasi
sosial dalam masyarakat adalah:
1. Kedudukan
(status)
Kedudukan
(status) sering kali dibedakan dengan kedudukan sosial (social status).
Kedudukan adalah sebagai tempat atau
posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Untuk mengukur status seseorang menurut
Pitirim Sorokin secara rinci dapat dilihat dari:
a) Jabatan
suatu pekerjaan;
b) Pendidikan
dan luasnya ilmu pengetahuan;
c) Kekayaan;
d) Politis;
e) Keturunan:
dan
f) Agama.
Dalam masyarakat sering kali status atau kedudukan
dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a)
Ascribed-status yaitu kedudukan yang
diperoleh karena kelahiran.
b)
Achieved-status yaitu kedudukan yang
dicapai oleh seorang dengan usaha-usaha yang sengaja dilakukan, bukan diperoleh
karena kelahiran
b.
Peran (Role)
Seseorang yang telah menjalankan hak – hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai
dengan kedudukannya, maka orang tersebut telah melaksanakan sesuatu peran.
C. Agama Dan
Stratifikasi Sosial
Agama dan
pelapisan sosial adalah dua hal yang berbeda. Namun agama dan masyarakat adalah
dua unsur yang saling mempengaruhi satu sama lain. Agama di definisikan sebagai
sistem kepercayaan yang di dalamnya meliputi aspek-aspek hukum, moral, budaya
dan sebagainya. Sedangkan lapisan sosial dipahami sebagai strata orang-orang
yang berkedudukan sama dalam rangkaian status sosial. Memang tidak mudah untuk
dapat menentukan jumlah kelas sosial yang ada di masyarakat. Namun beberapa
ahli menyimpulkan bahwa ada enam pembagian kelas sosial di masyarakat, yaitu:
upper-upper class, lower-upper class, upper-middle class, lower-middle class,
upper-lower class, dan lower-lower class. Klasifikasi di atas tentu tidak
berlaku secara umum di semua masyarakat. Sebab setiap kota ataupun desa masing-masing
memiliki karakteristik yang berbeda.
Manusia sering
tidak sengaja dan tanpa sadar mengklasifikasikan orang lain ke dalam suatu
kelas sosial, dan yang paling sering dijadikan patokan adalah status ia sendiri
sebagai anggota masyarakat. Misalnya menialai seseorang sederajat, lebih tinggi
atau lebih rendah darinya.Selain itu sejumlah orang menganggap orang-orang
tertentu memiliki karakteristik perilaku tertentu yang pada gilirannya
menciptakan kelas sosial.
Di Amerika
sekalipun yang sering dijadikan contoh Negara paling demokratis, hubungan
antara agama dan kelas sosial tetap signifikan.Maksudnya karena tidak ada
gereja Negara sebagai pemersatu agama mudah merembes ke dalam kelas-kelas
sosial, sebagaimana dikemukakan Demmerath bahwa kegerejaan mencerminkan
pengaruh sosial.Lebih lanjut dia memberi contoh bahwa agama di Amerika,
khususnya Protetanisme secara umum dilihat sebagai kegiatan masyarakat kelas
atas atau menengah.Terdapat tiga indikator yang mendukung pernyataan diatas,
yaitu keanggotaan gereja, kehadiran dalam acara peribadatan gereja, dan
keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan resmi gereja.Dalam setiap unsur tadi,
orang-orang yang berstatus tinggi tampaknya lebih dalam keterlibatannya
daripada yang berstatus rendah.
Demikian pula
hasil penelitian Contril. Ia menemukan bahwa
anggota-anggota Protestan pada umumnya mempunyai status yang lebih
tinggi, meskipun perbedaan ini tidak terlalu besar di wilayah Amerika selatan
dimana fundamentalisme Protestanisme kuat diantara kelas-kelas bawah. Kelas
sosial dengan kehadiran di gereja juga sangat besar hubungannya, kalangan
bisnis tingkat kehadirannya di gereja jauh lebih tinggi daripada kelas pekerja.
Terlepas dari
hasil penelitian di atas, yang jelas antara agama dan stratifikasi sosial
memiliki hubungan yang mengandung multi interpretasi.Penelitian Weber misalnya
menyatakan bahwa kelas menengah rendah dianggap memiliki peranan strategis
dalam sejarah agama Kristen.Weber menyimpulkan bahwa staratifikasi sosial
dianggap sebagai faktor yang menentukan kecenderungan-kecenderungan keagamaan
dan orientasinya. Tak heran jika Weber menyimpulkan bahwa kelas-kelas yang
secara ekonomis paling tidak mampu, seperti para budak dan buruh harian, tidak
akan pernah bertindak sebagai pembawa panji-panji agama tertentu.
Hubungan lain
dari agama dan stratifikasi sosial adalah konversi, atau beralih agama., dari
agama tertentu kepada agama lain. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang
pindah agama, antara lain faktor ekonomi dan lingkungan sosial. Ernest Troeltsch
mengungkapkan bahwa sebagian besar yang beralih ke agama Kristen berasal dari
kelas menengah bawah yang hidup di kota-kota besar, yang menikmati peningkatan
ekonomi yang terjadi secara lamban pada waktu itu.
Tanpa berpikir
negatif terhadap agama Hindu yang mengakui eksistensi sistem kasta, hal ini
jelas merupakan suatu masalah moral yang besar.Yang tidak secara eksplisit
membedakan stratifikasi sosial.Misalnya seorang Brahmana yang malas dan mungkin
tidak berguna namun secara serta merta mendapat martabat sosial yang paling
tinggi.Sedangkan seorang Sudra atau seseorang yang tidak berkasta tetapi jujur
dan rajin tidak hanya dipisahkan dalam hubungan kerjanya, tetapi juga ditolak
oleh masyarakat dan tidak diperkenankan menjalankan hal-hal yang berhubungan dengan
upacara keagamaan tertentu.
1.
Stratifikasi pada agama Hindu
Stratifikasi pada
masyarakat Hindu telihat dengan adanya sistem Kasta. Sistem Kasta telah
membedakan masyarakat agama Hindu ke dalam beberapa lapisan atau strata sosial,
yakni kasta brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Kasta brahmana mempunyai
status tertinggi dalam masyarakat beragama Hindu dan juga memiliki prioritas
untuk memimpin ritus keagamaan. Sementara kasta sudra yang dianggap sebagai
kasta dari kumpulan orang terbuang tidak boleh memimpin ritus keagamaan.
Pembedaan tersebut juga dibenarkan dengan adanya doktrin reinkarnasi mengenai nasib akhir individu secara spiritual. Doktrin
reinkarnasi mengajarkan bahwa orang
yang telah meninggal rohnya akan menjelma menjadi mahluk yang lebih tinggi atau
lebih rendah derajatnya dari semula.Tujuan spiritual dalam agama Hindu adalah
penggabungan kembali jiwa individunya atau atman
dengan jiwa dunia semesta atau Brahman.Untuk
mencapai tujuan tersebut ditentukan oleh dharma atau amal yang telah diperbuat
semasa hidupnya. Tinggi atau rendahnya
derajat penjelmaan dalam reinkarnasi tergantung pada perilakunya terdahulu,
padahal orang yang berkasta rendah seperti kaum sudra tidak diperkenankan untuk
memimpin ritus keagamaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kaum brahmana memiliki
kesempatan yang lebih banyak untuk mengumpulkan amal atau dharma.
2.
Stratifikasi pada agama Kristiani
Thomas F. O’dea dalam
Djamari (1998:112) menyatakan bahwa pada awal aabad pertengahan di kerajaan
Romawi terdapat stratifikasi sosial yaitu dengan munculnya tiga kelas
utama.Tiga kelas utama tersebut adalah pengurus gereja, bangsawan dan
rakyat.Gereja berfungsi sebagai lembaga sentral dan paling berpengaruh.Gereja
menjalankan fungsi demi terlaksananya tujuan dan nilai-nilai keagamaan.Oleh
sebab itu gereja memiliki warisan nilai moral dan kultural serta nilai-nilai
agama yang merupakan nilai sentral dalam kebudayaan kristianitas
Eropa.Sementara para jamaah awam merupakan terdapat pada lapisan strata
kedua.Hal ini semakin parah dengan adanya kenyataan bahwa pemimpin tertinggi
gereja seperi uskup, dan anggota biara berasal dari kelas bangsawan.Selain itu,
gereja mengumpulkan kekayaan dari sumbangan yang sebagian besar berasal dari
bangsawan.
3.
Stratifikasi pada agama Konghucu
Agama Konghucu merupakan
salah satu agama yang belum lama diakui oleh negara Indonesia.Pada agama
Konghucu juga terdapat pelapisan sosial atau stratifikasi sosial.Stratifikasi
tersebut terjadi pada umat dan tokoh agama atau spiritual.Banyak tipe
stratifikasi yang terjadi pada masyarakat Konghucu, seperti stratifikasi
berdasarkan struktur sosial umat Konghucu, dan stratifikasi berdasarkan
keagamaan.
a. Stratifikasi
berdasarkan struktur sosial umat Konghucu
Struktur dan
stratifikasi sosial tersebut memiliki keterkaitan terhadap dua hal, yaitu agama
Konghucu dan masyarakat Tionghoa sebagai basis komunal umat
Konghucu.Struktur sosial umat Konghucu
terdiri dari umat, rohaniawan, dan pengurus klenteng. Pembedaan tersebut
didasarkan pada keaktifan dalam kegiatan kebaktian atau ritual, dan keaktifan
dalam kegiatan umat dan sosial lainnya.Hal tersebut mengakibatkan adanya umat
Konghucu yang aktif dalam kebaktian, umat yang aktif dalam kegiatan umat dan
sosial lainnya, umat yang aktif dalam kebaktian sekaligus kegiatan umat dan
sosial lainnya.Rohaniawan termasuk umat yang aktif dalam kebaktian sekaligus
kegiatan umat dan sosial lainya sebagai bentuk tuntutan atas
jabatannya.Sementara pengurus klenteng menduduki posisi yang tertinggi
dikarenakan pengurus klenteng memiliki kekuasaan untuk mengatur kegiatan
klenteng dan kegiatan umat Konghucu, bahkan termasuk mengangkat dan
memberhentikan rohaniawan.
Pengurus Klenteng
|
Rohaniawan
|
Umat Konghucu yang aktif
kebaktian
|
b. Stratifikasi
berdasarkan Keagamaan
Stratifikasi berdasarkan keagamaan dilakukan oleh
MATAKIN selaku lembaga keagamaan tertinggi dalam agama Konghucu.MATAKIN membagi
umat Konghucu ke dalam beberapa jenis strata, yaitu strata berdasarkan
kerohanian, tingkat kesucian, dan lahiriah. Secara rohaniah, umat Konghucu
dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu :
1)
Kelompok pertama yang
mulai terhimpun di depan pintu gerbang kebajikan, yakni orang yang telah
mengakui dirinya sebagai umat
2)
Kelompok kedua yang
sudah memasuki gerbang kebajikan, yaitu orang yang mengakui dirinya sebagai
umat dan benar-benar berusaha membina diri sesuai dengan ajaran agama
3)
Kelmpok ketiga yang
telah memasuki pintu gerbang kebajikan dengan benar-benar mengikuti dan
mengembangkan watak sejatinya yang tercermin dalam pengabdiannya. Mereka ini
yang sering disebut Kuncu atau susilawan.
Kelompok Kuncu atau susilawan
|
Kelompok yang telah masuk gerbang
|
Kelompok Umat
|
Sedangkan strata yang
dilihat dari kondisi kesucian dibagi ke dalam 5 tingkatan yang menjadi tujuan
umat, yaitu:
1)
Sian atau baik,
yaitu yang menjadi keinginan-keinginannya memang layak dan baik
2)
Sien atau dapat dipercaya, yaitu yang telah benar-benar mempunyai kemampuan
untuk merealisasikan keinginannya
3)
Bi atau indah,
yaitu mampu merealisasi baik itu dengan sepenuhnya
4)
Tai atau besar,
yaitu yang kemampuan merealisir baik itu sedemikian besar sehingga memancarkan
cahaya atau pengaruh kemuliaan kepada masyarakat luas
5)
Sing atau sifat nabi,
yaitu jiwa besar yang sedemikian agung sehingga mampu membawa perubahan dan
peleburan kepada orang-orang yang mendengar atau melihat.
Sing atau sifat
nabi
|
Tai atau Besar
|
Bi atau indah
|
Sien
|
Sian
|
Namun secara lahiriah,
umat Konghucu dibedakan lagi ke dalam 4 strata, yaitu:
1)
Umat tradisional, yaitu
mereka yang masih melakukan sembahyang kepada Tuhan YME, leluhur, dan
upacara-upacara tradisi yang bersumber pada ajaran agama Konghucu
2)
Umat yang sudah aktif
sebagai pendengar, yaitu yang sudah memperhatikan dan mengikuti kebaktian di Lithang.
3)
Umat yang telah melaksanakan
Liep-gwan atau sidi pengakuan iman
pada suatu kebaktian
4)
Umat yang aktif
memangku jabatan mereka, yaitu mereka yang menjadi pengasuh kebaktian, menjadi
pengurus dalam majelis atau rohaniawan.
Rohaniawan
|
Umat yang telah Liep-gwan
|
Umat Pendengar
|
Umat Tradisional
|
Adapun tingkatan dalam
bidang kerohaniawanan atau jabatan keagamaan adalah Kausing atau penebar agama,
Bunsu atau guru agama, dan Haksu atau pendeta.Seorang Kausing minimal berusia
18 tahun dan kelakuan hidupnya tidak tercela.Bunsu minimal berusia 21 tahun
atau sudah menikah dan memiliki pengetahuan agama yang mendalam atau sudah
mengikuti pendidikan agama yang sudah ditentukan serta kelakuan hidupnya tidak
tercela. Sementara Haksu minimal berusia 30 tahun atau sudah beristri dengan pengetahuan agama yang mendalam atau
sudah berpengalaman dalam menjadi Kausing atau Bunsu melalui pendidikan yang
telah ditentukan dan kelakuan hidupnya tidak tercela. Sementara rohaniawan
wanita harus mendapat persetujuan dari pihak suami.Tugas rohaniawan berhubungan
dengan kegiatan ritual dan pembinaan mental keagamaan atau spiritual
umat.Rohaniawan diangkat dan diberhentikan oleh MATAKIN melalui MAKIN.Jabatan
rohaniawan berlaku seumur hidup selama tidak mengalami halangan. Posisi Kausing
dan Bunsu tidak mendapatkan kesejahteraan dari kebatian, sehingga diperbolehkan
bekerja pada bidang lain. Sedangkan Haksu mengabdikan hidupnya kepada agama
atau kebaktian, sehingga majelis agama atau kebaktian wajib menanggung
kebutuhan hidunpnya secara layak.Selain itu, ada jabatan beberapa jabatan lagi
seperi Tiangloo atau sesepuh. Jabatan Tiangloo daapat diberikan kepada Kausing,
Bunsu, Haksu, atau tokoh ahli dalam
agama tetapi sudah tidak dapat aktif karena berusia lebih dari 55 tahun.
Haksu
|
Bunsu
|
Kausing
|
Umat Konghucu yang aktif dan
paham agama
|
Tiangloo/Sesepuh
|
Tokoh lain yang
ahli
|
D. Agama,
Kelas Sosial dan Demokrasi
Demokrasi
sepertinya menjadi cita-cita seluruh bangsa.Ada beberapa elemen yang menentukan
suasana demokrasi suatu bangsa, antara lain budaya, yang di dalamnya terdapat
agama. Penilaian atas agama dalam kaitannya dengan proses demokrasi, mesti
dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi salah menyimpulkan, misalnya
agama Kristen Protestan dianggap kondusif dalam menciptakan suasana demokratis
di Amerika, kemudian Islam di Al-Jazair dianggap kurang kondusif. Lalu apakah
telah ditentukan agama apa yang cocok dan kondusif pada suatu negara?
Demikian pula
kelas sosial.Agama bisa menjadi faktor penentu dalam bentuk kelas sosial dalam
tatanan masyarakat, sangat dipengaruhi oleh interpretasi manusia atas
agama.Memang kita tidak bisa memungkiri bahwa sekat-sekat sosial seringkali
menimbulkan masalah sosial.Antara si kaya dan si miskin tetap saja jelas
perbedaan status sosialnya.
Kesalahan-kesalahan
memahmi prinsip agama berkaitan dengan kelas sosial, pada gilirannya mengarah
pada pemikiran anti agama atau komunis dan agama di “kambinghitamkan”.Inilah
persoalan yang barangkali hingga saat ini masih dianut oleh sebagian
manusia.Ini pula mungkin yang harus menjadi pemikiran kita bersama, khususnya
peminat sosiologi agama.Disini kita tidak bisa memungkiri bahwa secara de fakto
masih terjadi ketimpangan sosial, terlalu jauh jurang yang memisahkan antara si
kaya dan si miskin.Lalu apakah agama yang harus disalahakan, sebenarnya kritik
kaum komunis tidak selamanya bersifat negatif. Mungkin maksudnya adalah agar
sosiolog agama atau cendekiawan agama harus senantiasa menginterpretasikan
ajaran agama yang ia percayai.
Dari pembicaraan
ini mungkin kita bisa mengambil manfaat, khususnya untuk pembangunan keagamaan
di Indonesia. Bagaimana agar tetap maju dalam suasana yang tetap berkeTuhan-an
dan religius tanpa terjebak oleh paham-paham komunis dan atheis, tentu
memerlukan interpretasi atas ajaran agama yang aktual, kontekstual tanpa
melupakan inti dan hakikat agama itu sendiri
Daftar Pustaka
Soerjono Soekanto. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Djamari.
1988. Agama dalam Perspektif Sosiologi. Jakarta: Depdikbud Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi
Joko Tri Haryanto. 2009.Struktur dan Stratifikasi Sosial Umat Konghucu di Kabupaten Tuban Jawa
Timur. ANALISA.Vol. XVI.
No.2.185-200
Tidak ada komentar:
Posting Komentar