BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Indonesia merupakan negara yang majemuk,
terbukti dari adanya berbagai diferensiasi pada suku, adat, budaya dan agama. Salah
satu diferensiasi pada masayrakat Indonesia yang paling kentara ialah agama.
Ini dikarenakan agama merupakan institusi paling fundamental dan penting yang
mengatur kehidupan manusia itu sendiri. Masing-masing agama memiliki ajaran
dari kepercayaanya yang berbeda sehingga cara beribadah dan segala macam atribut
keagamaannya pun berbeda.
Di dunia ini
terdapat banyak agama, antara lain Islam, Nasrani (terbagi menjadi Katholik dan
Protestan), Buddha dan Hindu. Selain itu, terdapat juga agama-agama khusus dan
kepercayaan-kepercayaan yang diyakini oleh kelompok masyarakat atau bangsa
tertentu, seperti konfusianisme (agama-agama Kong Hu Cu), Taoisme (agama Tao),
Judaisme (agama Yahudi), Shintoisme (agamaShinto), dan lain-lain. Namun untuk
di Indonesia sendiri hanya terdapat enam agama yang dilegitimasi oleh negara,
yakni Islam, Hindu, Buddha, Nasrani/Kristen Katolik dan Protestan serta Kong Hu
Cu.
Dewasa ini di berbagai belahan dunia kerap
terjadi konflik yang diakibatkan ketimpangan
sosial dan ketidakadilan ekonomi, yang
mana ini terjadi dengan memanfaatkan sentiment kepercayaan/keagamaan. Hal ini
jelas dipicu oleh adanya diferensiasi kepercayaan/agama itu sendiri. Di
Indonesia sendiri tak jauh berbeda, pada beberapa wilayah atau daerah kerap
terjadi konflik yang mengatas namakan kepercayaan/agama. Padahal pemerintah
sudah melakukan upaya preventif guna menanggulanginya. Yakni Penetapan Presiden
No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal
1 dengan mengakui enam agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Oleh karena
itu, dalam makalah ini kami akan membahas mengenai diferensiasi agama di
Indonesia yang kerap kali menjadi pemicu dari lahirnya konflik sosial dalam
masyarakat Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
korelasi masyarakat dengan agama sebagai kajian dalam studi masyarakat
Indonesia?
2.
Bagaimana
sejarah perkembangan masuknya agama-agama di Indonesia?
3.
Bagaimana
konsep diferensiasi agama sebagai diferensiasi sosial?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui korelasi masyarakat dengan agama sebagai kajian dalam studi
masyarakat Indonesia
2.
Untuk
mengetahui sejarah perkembangan masuknya agama-agama di Indonesia
3.
Untuk
mengetahui konsep diferensiasi agama sebagai diferensiasi sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Agama
dan Masyarakat
Agama berasal dari bahasa sansakerta untuk menunjuk
kepercayaan agama Hindhu dan Budha. Dalam perkembanganya kata ini diserap ke
dalam bahasa Indonesia dan dipakai untuk menyebut kepercayaan yang ada di
Indonesia secara umum. Secara harafiah agama berarti tidak berantakan atau
hidup teratur.
Pengertian
Agama menurut ahli sosiologi :
·
Emile
Durkheim : agama adalah sistem yang menyatu mengenai berbagai kepercayaan dan
peribadatan yang berkaitan dengan benda-benda sakral.
·
Marx
beranggapan bahwa agama adalah “candu masyarakat” yang mengelabuhi kesadaran
manusia. Manusia seharusnya bekerja dan hidup untuk kebutuhan yang dirasakanya
saat ini, yakni “kesejahteraan ekonomi”.
·
Geertz
beranggapan bahwa agama adalah sistem lambang yang berfungsi menegakkan
berbagai perasaan dan motivasi yang kuat, berjangkauan luas dan abadi pada
manusia dengan merumuskan berbagai konsep mengenai keteraturan umum ekstistensi
secara realistik.
·
Frans
Dahler agama merupakan hubungan manusia dengan kekuasaan yang suci dimana
kekuasaan yang suci tersebut lebih tinggi dari adanya manusia.
Jadi dapat disimpulkan
bahwa nilai-nilai agama sudah ada dalam diri manusia dan nilai-nilai tersebut
sangat mempengaruhi nilai hidup manusia sehingga ia memiliki kesadaran bahwa
diluar dirinya ada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih suci yaitu adalah agama.
Sedangkan Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan
(Soerjono Soekanto, 1983).
Dalam perspektif
sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku
sosial tertentu (Henri L. Tischler, 1990 : 380). Ini berkaitan dengan
pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Sehingga
setiap perilaku yang diperankan manusia akan terkait dengan sistem keyakinan
dari ajaran agama yang dianutnya atau dengan kata lain perilaku individu atau
masyarakat digerakkan oleh kekuatan dari dalam (spiritual) yang didasarkan pada
nilai-nilai ajaran agama yang terinternalisasi sebelumnya.
Jika dilihat dari
perspektif keseimbangan sistem sosial yang ada di masyarakat, maka dapat
dikatakan bahwa agama merupakan salah satu bentuk legitimasi keseimbangan yang
paling efektif. Agama merupakan semesta simbolik yang memberi makna pada
kehidupan manusia dan memberikan penjelasan yang paling komprehensif tetang
semua realitas di masyarakat. sebagai sistem keyakinan, agama bisa menjadi
bagian dan inti dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat dan
menjadi pendorong/penggerak serta pengontrol bagi tindakan atau perilaku
masayrakat tertentu agar tetap sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran
agamanya.
Agama di Indonesia
memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam
ideologi bangsa Indonesia, Pancasila : “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pancasila merupakan landasan Negara
telah menjadi payung guna melindungi agama-agama yang ada di dalamnya. Pancasila
menjadi wadah yang memadai sebagai dasar pijak bersama seluruh anak bangsa dan
agama memberi isi pada dimensi ritual. Nilai-nilai yang terinternalisasi dalam
ideologi bangsa Indonesia ini menunjukkan pula korelasi agama dan masyarakat
Indonesia, bahwa agama mempunyai peranan fundamental dan penting bagi
terlaksananya tatanan sosial masyarakat Indonesia.
B.
Sejarah
Masuknya Agama-Agama Di Indonesia
Agama di
Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya.
Dalam UUD
1945 dinyatakan bahwa
"tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan
kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk
menyembah, menurut agama atau kepercayaannya. Pemerintah, bagaimanapun, secara
resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha
dan Khonghucu.
Berdasar
sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa
perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia.
1.
Buddha
Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad keenam masehi. Sejarah Buddha di
Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah
dibangun sekitar periode yang sama. Seperti kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan Mataram. Kedatangan agama Buddha telah dimulai dengan aktivitas
perdagangan yang mulai pada awal abad pertama melalui Jalur
Sutra antara India dan Indonesia. Sejumlah warisan dapat ditemukan di
Indonesia, mencakup candi Borobudur di Magelang dan patung atau prasasti dari sejarah Kerajaan Buddha
yang lebih awal. Mengikuti kejatuhan Soekarno pada pertengahan tahun 1960-an,
dalam Pancasila ditekankan lagi pengakuan akan satu Tuhan (monoteisme). Sebagai hasilnya, pendiri Perbuddhi (Persatuan Buddha
Indonesia), Bhikku Ashin Jinarakkhita, mengusulkan bahwa ada satu dewata
tertinggi, Sang Hyang Adi
Buddha. Hal ini didukung dengan sejarah di belakang versi Buddha Indonesia pada
masa lampau menurut teks Jawa
kuno dan bentuk candi Borobudur.
2.
Hindu
Kebudayaan
dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya
dengan kedatangan agama Buddha,
yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan Majapahit. Candi Prambanan adalah kuil Hindu yang dibangun semasa kerajaan
Majapahit, semasa dinasti Sanjaya. Kerajaan ini hidup hingga abad ke 16 M.
Hindu di Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya di dunia. Sebagai contoh, Hindu
di Indonesia, secara formal ditunjuk sebagai agama Hindu
Dharma, tidak pernah
menerapkan sistem kasta. Contoh lain adalah, bahwa Epos keagamaan Hindu Mahabharata (Pertempuran Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan Rama), menjadi tradisi penting para pengikut
Hindu di Indonesia, yang dinyatakan dalam bentuk wayang dan pertunjukan tari. Semua praktisi agama Hindu Dharma
berbagi kepercayaan dengan banyak orang umum, kebanyakan adalah Lima Filosofi: Panca
Srada. Ini meliputi
kepercayaan satu Yang Maha Kuasa Tuhan, kepercayaan di dalam jiwa dan semangat, serta karma atau kepercayaan akan hukuman tindakan timbal balik.
Dibanding kepercayaan atas siklus kelahiran kembali dan reinkarnasi, Hindu di Indonesia lebih terkait dengan banyak sekali
yang berasal dari nenek moyang roh.
Sebagai tambahan, agama Hindu disini lebih memusatkan pada seni dan upacara agama dibanding kitab, hukum
dan kepercayaan.
3.
Islam
Islam pertama kali
masuk ke Indonesia pada abad ke-7 melalui pedagang Arab. Islam menyebar sampai
pantai barat Sumatera dan kemudian berkembang ke timur pulau Jawa. Pada periode
ini terdapat beberapa kerajaan Islam, yaitu kerajaan Demak, Pajang, Mataram dan Banten.
Pada akhir abad ke-15 M, 20 kerajaan Islam telah dibentuk, mencerminkan
dominasi Islam di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, dengan 85% dari jumlah penduduk
adalah penganut ajaran Islam.
Mayoritas Muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di Jawa dan Sumatera. Sedangkan di wilayah timur Indonesia, persentase
penganutnya tidak sebesar di kawasan barat. Sekitar 98% Muslim di Indonesia
adalah penganut aliran Sunni.
Sisanya, sekitar dua juta pengikut adalah Syiah (di atas satu persen), berada di Aceh.
4.
Kristen
Katolik
Kristen Katolik dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis,
khususnya di pulau Flores
dan Timor. Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia
pada bagian pertama abad ketujuh. Pada abad ke-16, Portugis dan Spanyol mulai
memperluas pengaruhnya di Manado dan kawasan Minahasa, serta mencapai Flores
dan Timor. Agama Katolik mulai berkembang di Jawa
Tengah ketika Frans van Lith menetap di Muntilan pada 1896 dan menyebarkan iman Katolik kepada rakyat
setempat. Di Sumatera Utara kota Barus yang dahulu disebut Pancur dan saat ini
terletak di dalam Keuskupan Sibolga di Sumatera Utara adalah tempat kediaman
umat Katolik tertua di Indonesia. Di Barus juga telah berdiri sebuah Gereja
dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni Maria (Gereja Katolik Indonesia seri
1,diterbitkan oleh KWI)
5.
Kristen
Protestan
Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad
ke-16 M dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia bagian
Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang Belanda, termasuk Maluku, Nusa
Tenggara, Papua dan Kalimantan. Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai Borneo, kaum misionarispun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatera juga menjadi target para misionaris
ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak, dimana banyak saat ini yang menjadi pemeluk Protestan.
Di Indonesia, terdapat tiga provinsi yang mayoritas penduduknya adalah
Protestan, yaitu Papua, Ambon,dan Sulawesi
Utara dengan 90%,91%,94%
dari jumlah penduduk. Di Papua, ajaran Protestan telah dipraktikkan secara baik
oleh penduduk asli.Di Ambon, ajaran Protestan mengalami perkembangan yang
sangat besar. Di Sulawesi Utara, kaum Minahasa, berpindah agama ke Protestan pada sekitar abad ke-18.
Saat ini, kebanyakan dari penduduk asli Sulawesi Utara menjalankan beberapa
aliran Protestan. Selain itu, para transmigran dari pulau Jawa dan Madura yang beragama Islam juga mulai berdatangan. Sepuluh
persen lebih-kurang; dari jumlah penduduk Indonesia adalah penganut Kristen
Protestan.
6.
Khonghucu
Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan
imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di kepulauan
Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih
menitikberatkan pada kepercayaan dan praktik yang individual, lepas daripada
kode etik melakukannya, bukannya suatu agama masyarakat yang terorganisir
dengan baik, atau jalan hidup atau pergerakan sosial.
Pada 1965, Soekarno mengeluarkan sebuah keputusan presiden No. 1/Pn.Ps/1965
1/Pn.Ps/1965, di mana agama resmi di Indonesia menjadi enam, termasuklah
Konghucu. Pada awal tahun 1961, Asosiasi Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI),
suatu organisasi Konghucu, mengumumkan bahwa aliran Konghucu merupakan suatu
agama dan Confucius adalah nabi
mereka. Tahun 1967, pada masa Orde
Baru di bawah
pemerintahan Soeharto, perundang-undangan anti Tiongkok telah diberlakukan demi
keuntungan dukungan politik dari orang-orang, terutama setelah kejatuhan PKI, yang diklaim telah didukung oleh Tiongkok. Soeharto
mengeluarkan instruksi presiden No. 14/1967, mengenai kultur Tionghoa,
peribadatan, perayaan Tionghoa, serta menghimbau orang Tionghoa untuk mengubah
nama asli mereka.
Karenanya, status Konghucu di Indonesia pada era Orde
Baru tidak pernah jelas. De jure, berlawanan hukum, di lain pihak hukum yang lebih tinggi
mengizinkan Konghucu, tetapi hukum yang lebih rendah tidak mengakuinya. De
facto, Konghucu tidak
diakui oleh pemerintah dan pengikutnya wajib menjadi agama lain (biasanya Kristen atau Buddha)
untuk menjaga kewarganegaraan mereka. Praktik ini telah diterapkan di banyak
sektor, termasuk dalam kartu tanda penduduk, pendaftaran perkawinan, dan bahkan
dalam pendidikan kewarga negaraan di Indonesia yang hanya mengenalkan lima
agama resmi.
Setelah reformasi Indonesia tahun 1998, ketika kejatuhan Soeharto, Abdurrahman
Wahid dipilih menjadi
presiden yang keempat. Wahid mencabut instruksi presiden No. 14/1967 dan
keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1978. Agama Konghucu kini secara resmi
dianggap sebagai agama di Indonesia. Kultur Tionghoa dan semua yang terkait
dengan aktivitas Tionghoa kini diizinkan untuk dipraktekkan. Warga Tionghoa
Indonesia dan pemeluk Konghucu kini dibebaskan untuk melaksanakan ajaran dan
tradisi mereka.
C.
Diferensiasi
Agama sebagai Diferensiasi Sosial
Secara umum
diferensiasi sosial diartikan sebagai pembedaan penduduk dalam struktur sosial
secara horizontal, yaitu tidak menunjukkan adanya tingkatan lebih tinggi atau
lebih rendah. Perbedaan-perbedaan itu antara lain dalam agama,
ras, etnis, clan (klen), pekerjaan, budaya, maupun jenis kelamin.
Ada beberapa jenis
diferensiasi sosial (cp, North, 1962) :
1.
Diferensiasi
tingkatan (rank diferentiation) : muncul karena ketimpangan distribusi sesuatu
barang yang dibutuhkan,yang terbatas persediaannya. Perbedaan bedasarkan
tingkatan sosial di masyarakat ini memberikan kemajemukan kelas sosial,
sehingga kemajemukan tersebut hampir mirip dengan stratifikasi sosial, yaitu
kompleksnya struktur sosial masyarakat yang menimbulkan adanya kelas-kelas
sosial.
2.
Diferensiasi
fungsional (functional diferentiation) atau diferensiasi berdasarkan pembagian
kerja, muncul karena orang melaksanakan pekerjaan yang berlainan. Masyarakat
pada mulanya melakukan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, tetapi
lama-kelamaan berkembang melakukan pembagian kerja berdasarkan keterampilan,
keahlian, pendidikan, dll.
3.
Diferensiasi
adat (custom diferentiation), muncul karena aturan berperilaku
yang berbeda menurut situasi tertentu.
Dengan demikian, menurut Svalastoga (1989 : 18), bahwa diferensiasi
sosial diartikan sebagai perbedaan tingkatan yang merupakan salah satu ciri
yang universal (berlaku umum) dari organisasi sosial. Tetapi tingkatan diferensiasi sosial
berbeda-beda menurut waktu, tempat dan orang. Perbedaan itu terutama tergantung
pada dua kondisi : (1) kondisi beban tugas (aktivitas) kelompok, (2) integrasi.
Pada umumnya
kelompok yang kurang tingkat aktivitasnya juga rendah tingkat diferensiasinya.
Hal yang sama juga berlaku pada kelompok yang sangat terintegrasi sekalipun.
Tetapi karena aktivitas atau beban terus akan meningkat atau integrasi menurun,
maka diferensiasi cenderung akan meningkat. Hubungan ini cenderung berperan
semakin efisien dan akan mengurangi terjadinya konflik terbuka.
Dari pembagian
jenis diferensiasi menurut North di atas, dapat dikatakan bahwa diferensiasi
agama masuk dalam kategori diferensiasi adat (custom diferentiation).
Diferensiasi agama itu sendiri terkonstruk oleh budaya atau adat yang ada pada
masyarakatnya. Yakni terlihat dari simbol-simbol keagamaan dan upacara
keagamaan pada tiap agama yang berbeda di setiap wilayah atau negara. Karena
sejatinya setiap agama yang ada itu memiliki doktrik-doktrin dari kitab sucinya
yang memberikan nilai-nilai idealis pembentuk stabilitas tatanan sosial
masyarakat.
Doktrin agama memiliki
horizon yang luas, doktrin itu menjadi sumber nilai bagi pembentukan kepribadian,
ideologi bagi gerakan sosial dan perekat hubungan sosial. Namun sejatinya doktrin
agama manapun yang dianut oleh komunitas di manapun di belahan dunia ini
mengajarkan kepada pemeluknya untuk menjadi manusia yang baik, manusia yang
jujur, manusia yang memiliki kasih sayang, mencintai kedamaian dan membenci
kekerasan. Secara substansi ajaran agama memberikan kerangka norma yang tegas
bagi tingkah laku umatnya, nyaris sulit ditemukan doktrin-doktrin agama wahyu
yang tidak mengajarkan hal-hal yang baik kepada pemeluknya, hanya kebudayaan
yang mengemasnya saja yang berbeda. Sebagai contohnya
ialah ajaran Sang Buddha yang menebarkan dharma kebenaranya di hadapan 1000
muridnya di sebuah kota kusinegara, mengenai prihal dalam pembabaran dharma
kebenaran ajaran Budha. “Sampaikanlah dharma ajaranku yang indah pada awalnya, indah
pada tengahnya dan indah pada akhirnya kemanapun engkau pergi dan sesuaikanlah
dengan bahasa, adat istiadat dan budaya serta kebiasan di tempat engkau
menbabarkan dharma sehinga dharma kebenaranku yang indah pada awalnya, indah
pada tengahnya serta indah pada akhirnya dapat diterima kemanapun engkau pergi”.
Kemudian ada Hindu
di Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya di dunia. Hindu di Indonesia secara
formal ditunjuk sebagai agama Hindu Dharma, tidak pernah menerapkan sistem kasta. Contoh lain
adalah, bahwa Epos keagamaan Hindu Mahabharata (Pertempuran Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan Rama), menjadi tradisi penting para
pengikut Hindu di Indonesia, yang dinyatakan dalam bentuk wayang dan pertunjukan tari. Aliran Hindu juga telah
terbentuk dengan cara yang berbeda di daerah pulau Jawa,
yang jadilah lebih dipengaruhi oleh versi Islam mereka sendiri, yang dikenal
sebagai Islam Abangan atau
Islam Kejawen.[1]
Semua praktisi
agama Hindu Dharma berbagi kepercayaan dengan banyak orang umum, kebanyakan
adalah Lima Filosofi: Panca Srada. Ini meliputi kepercayaan satu Yang Maha Kuasa Tuhan, kepercayaan di dalam jiwa dan semangat, serta karma atau kepercayaan akan hukuman tindakan timbal
balik. Dibanding kepercayaan atas siklus kelahiran kembali dan reinkarnasi, Hindu di Indonesia lebih terkait dengan banyak sekali yang berasal dari
nenek moyang roh. Sebagai tambahan, agama Hindu disini lebih memusatkan
pada seni dan upacara agama dibanding kitab, hukum dan
kepercayaan. Adapun secara sederhana diferensiasi agama di Indonesia bisa
digambarkan dengan bagan daftar kepribadian di bawah ini :
Daftar Kepribadian
Agama-agama di Indonesia
Agama
|
Pemimpin Umat
|
Kitab Suci
|
Tempat Ibadah
|
Hari Raya
|
Pelaksanaan Ibadah
|
Islam
|
Kyai
Habib
Syekh
Ulama
|
Al Qur’an
|
Masjid/ musholah/ langgar
|
Idul fitri
Idul Adha
|
Shalat lima waktu, puasa, zakat, haji,
|
Protestan
|
Pendeta
|
Al kitab
|
Gereja
|
Natal
Wafatnya Yesus Kristus
Kebangkitan dan kenaikan Yesus Kristus
|
Minggu
|
Katolik
|
Romo
|
Al kitab
|
Gereja
|
Natal
Wafatnya Yesus Kristus
Kebangkitan dan kenaikan Yesus Kristus
|
Sabtu
Minggu
|
Hindu
|
Sulinggih
Pedanda
Pandida
|
Weda
|
Pura
|
Nyepi
|
Rabu
Sabtu
|
Buddha
|
Bhiksu
Pandita
Bhante
|
Tripitaka
|
Vihara
|
Waisak
|
Minggu, setiap tanggal 1 8 15 dan 23 penanggalan
Chandra Sengkala
|
Khong Hu Cu
|
Xueshi
Wenshi
Jiaosheng
|
Sishu
Wujing
Xiaong
Jing
|
Klenteng
Lithang
(Aula Kebajikan)
|
Imlek
|
Tanggal 1 dan 15 Yinli/imlek, minggu.
|
1.
Dampak
Diferensiasi Agama
Diferensiasi sosial yang bersifat horizontal yaitu
perbedaan dalam kesederajatan/kesetaraan seperti agama yang terdapat di
Indonesia secara teoritis Geertz “akan menjadi masyarakat yang terikat oleh
ikatan-ikatan yang bersifat primodial. Selanjutnya dengan terkelompokannya
masyarakat Indonesia ke dalam unsur agama, ras, suku bangsa dan lain sebagainya
akan membentuk menjadi masyarakat majemuk. Menurut Berge (dalam Nasikhun :36)
pada masyarakat seperti ini akan memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
1.
Terjadinya
segmentasi kedalam bentuk kelompok-kelompok yang sering sub-sub kebudayaan yang
berbeda satu sama lain.
2.
Memiliki
struktur sosial yang terbagi-bagi kedalam lembaga yang bersifat non
komplementer
3.
Kurang
mengembangkan konsesus diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang
bersifat dasar
4.
Secara
relatif seringkali mengalami konflik-konflik diantara kelompok yang satu dengan
kelompok yang lain
5.
Secara
reltif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan dan saling ketergantungan
dibidang ekonomi
6.
Adanya
dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok lain.
Tantangan teologis paling
besar dalam kehidupan beragama sekarang ini adalah bagaimana seorang beragama
bisa mendefinisikan dirinya di tengah-tengah agama lain. Dalam pergaulan
antaragama, semakin hari kita semakin merasakan intensnya pertemuan-pertemuan
agama meskipun pertemuan itu kurang diisi dengan segi-segi dialogis antar
imanya. Sebenarnya hubungan antar tokoh-tokoh agama di Indonesia terlihat baik,
akrab dan keterlibatan yang sungguh-sungguh dalam usaha memecahkan
persoalan-persoalan yang ada di masyarakat, khususnya menyangkut kemungkinan
disintegrasi bangsa akibat konflik-konflik SARA yang berkepanjangan. Tetapi
pada tingkat teologis yang merupakan dasar dari Negara itu muncul
kebingungan-kebingungan, khususnya menyangkut bagaimana kita harus
mendefinisikan diri di tengah-tengah agama lain yang juga eksis dan punya
keabsahan.
Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif
terhadap politik, ekonomi dan budaya. Dengan banyaknya agama maupun aliran
kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak
terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan
penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi
secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur
Indonesia.
2.
Resolusi
Dampak Diferensiasi Agama
Saat ini
pluralisme yang dipahami dan dipraktekkan oleh sebagian manusia adalah
“pluralisme semu” (pseudo pluralism). Di mana pluralisme hanya sebatas dan
belum sepenuhnya menjadi entitas yang harus disadari dan diakui sebagai
kenyataan sosial dalam masyarakat. Pluralisme semu adalah bentuk pengakuan
terhadap keragaman masyarakat (toleransi) yang terdiri dari budaya, suku, dan
agama yang berbeda-beda, namun tidak bersedia menyikapi dan menerima suatu
keberagaman sebagai kenyataan sejarah (historical necessity) dan kenyatan
sosio-kultural (socio-cultural necessity).
Dengan kalimat
lain, pluralisme semu merupakan bentuk pengakuan atas perbedaan yang ada, namun
penerimaan akan adanya suatu perbedaan belum sepenuhnya nampak dari sebagian
sikap sebagian manusia. Sikap mendua atau standar ganda (double standard) dapat
berimplikasi pada keretakan hubungan antarumat beragama, yang lambat laun
berpotensi melahirkan konflik agama. Semestinya, pluralisme harus dipahami
sebagai bentuk kesedian menerima kelompok lain secara sama sebagai suatu
kesatuan. Adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup, sebab yang
terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu harus diperlakukan sama oleh
negara. Di sinilah konsep pluralisme memberikan kontribusi nyata terhadap
agenda demokrasi dan anti-diskriminasi. Perhatian yang besar terhadap persamaan
(equality) dan anti-diskriminasi kaum minoritas telah menghubungkan pluralisme
dengan demokrasi. Dua kondisi inilah yang diperjuangkan oleh Cak Nur dan Gus
Dur.
Pengakuan
terhadap agama menunjukkan tindakan yang adil terhadap diri sendiri dan
terhadap orang lain sebagai pemeluk agama yang berbeda dengan yang kita anut.
Sikap ini telah semenjak dahulu diajarkan dan tertulis dalam buku Sutasoma
karya Mpu Tantular. Dalam buku tersebut tertulis kata-kata “Bhineka Tunggal Ika
Tan Hana Dharma Mangra”, yang artinya walaupun berbeda satu jua adanya sebab
tidak ada tujuan agama yang berbeda. Oleh karena itu, membina dan mengembangkan
sikap hormat-menghormati antar pemeluk agama merupakan kewajiban kita sebagai
warga negaraIndonesia.
Jadi,
Pluralisme bukan hanya mempresentasikan adanya kemajemukan (suku atau etnik,
bahasa, budaya dan agama) dalam masyarakat yang berbeda-beda. Akan tetapi,
pluralisme harus memberikan penegasan bahwa dengan segala keperbedaannya itu
mereka adalah sama di dalam ruang publik.
BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
Jadi bagi suatu Negara dimana masyarakat memiliki
keberagaman sosial (majemuk) seperti agama, kelemahannya adalah rentan
terjadinya konflik antar kelompok yang terkotak-kotakan oleh unsur-unsur sosial
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Dadang Kahmad. Sosiologi Agama. 2009. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya.
Mujahid Abdullah Manaf. Sejarah Agama-agama. 2006.
Surakarta : UNS Press
Nasikhun,
2009. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta
: Rajawali press.
Svalstoga, Kaare. Social Direfentiation. 1989.
Jakarta : PT. Bina Aksara.
http://filsafat.kompasiana.com/2010/01/25/makna-perbedaan-agama-dan-penafsiranya/ (diakses pada senin, 18 Maret 2013 Pkl.21.00)
[1]
Lidde, R. William (August
1996). "The Islamic Turn in Indonesia: A Political Explanation". Journal of Asian
Studies 55 (3): 613-634. doi:10.2307/2646448. (Diakses pada 11 Maret 2013)
nice info
BalasHapusBhinneka Tunggal Ika
Berbeda-beda tetapi tetap NKRI bersatu
Kekuatan RI ada di Perbedaan yang di mengerti dan disadari oleh setiap insan manusia
terima kasih
Suwun kang
BalasHapus