BABI
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Di dunia ini tidak ada masyarakat yang
tidak menganut agama. Meskipun bukan menganut agama yang diakui di dunia
seperti agama Islam, Katolik, Kristen, Budha dan Hindhu. Karena agama
menyangkut keberadaan Tuhan. Dan sebaliknya agama berdiri karena ada
penganut-penganutnya yakni masyarakat itu sendiri. Jadi hubungan agama dan
masyarakat tersebut tidak dapat dipisahkan lagi.
Pada tipe masyarakat yang masih
terpengaruh pada nilai-nilai agama. Kondisi masyarakatnya kecil terpencil dan
terbelakang. Tingkat perkembangan teknologinya rendah, hanya sedikit terdapat
pembagian kerja dan pembagian kelas sosialnya sederhana. Keluarga merupakan
lembaga terpenting, spesialisasi organisasi pemerintahan dan kehidupan ekonomi
sederhana. Laju perubahan sosial lamban, simbol agama yang sangat potensial
adalah gambaran mitos nenek moyang dan pahlawan-pahlawan yang disimbolkan dalam
berbagai bentuk.
- Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian agama, golongan masyarakat, dan fungsi
agama?
2. Bagaimana pengaruh agama terhadap golongan dan
tipe-tipe masyarakat
- Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian agama, golongan masyarakat,
dan fungsi agama?
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh agama terhadap
golongan dan tipe-tipe masyarakat
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama, Golongan Masyarakat, dan
Fungsi Agama
Definisi agama menurut pemahaman sosiologi
adalah definisi yang empiris, sosiologi tidak pernah memberikan definisi agama
yang evaluatif (menilai). Lebih jelasnya agama dipandang sebagai suatu
institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi
dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, dan nasional. Menurut
Hendropuspito, agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh
penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang
dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan
masyarakat luas umumnya. Dalam Kamus
Sosiologi, pengertian agama ada tiga macam, yaitu (1) kepercayaan pada
hal-hal yang spiritual; (2) perangkat kepercayaan dan praktek-praktek spiritual
yang dianggap sebagai tujuan tersendiri; dan (3) ideologi mengenai hal-hal yang
bersifat supranatural.
Dari beberapa definisi diatas, jelas
tergambar bahwa agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya
ketika terjadi hal-hal yang berada diluar jangkuan dan kemampuannya karena
sifatnya yang supra-natural sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah
yang non-empiris.
Selanjutnya, golongan/tipe masyarakat
dapat diartikan sebagai penggolongan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu
kelompok yang mempunyai karakteristik yang sama atau dianggap sejenis. Dalam Kamus Sosiologi dinyatakan sebagai
kategori orang-orang tertentu dalam suatu masyarakat yang didasarkan pada
ciri-ciri mental tertentu.
Berdasarkan definisi diatas, pengolonngan
masyarakat dapat dibuat berdasarkan ciri yang sama. Misalnya, (1) penggolongan
berdasarkan jenis kelamin adalah pria dan wanita; (2) penggolongan berdasarkan
usia adalah tua dan muda; (3) penggolongan berdasarkan pendidikan addalah
cendekia dan buata huruf; (4) penggolongan berdasarkan pekerjaan adalah petani,
nelayan, golongan buruh, pengrajin, pegawai negeri, dan lain-lain. Menurut
Hendropuspito, meskipun tidak dapat dibuat berdasarkan kedudukan sosial yang
sama, seperti pada lapisan sosial, penggolongan ini pada dasarnya untuk untuk
kepentingan pengamat sosial dalam penelitian-penelitian terhadap masyarakat.
Adapun yang dimaksud dengan fungsi agama
adalah peran agama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan
secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh
karena itu, diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa
aman, sejahtera, stabil, dan sebagainya.
Thomas F. O’Dea menuliskan enam fungsi
agama, yaitu (1) sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi; (2)
sarana hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara ibadat; (3) penguat
norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada; (4) pengkoreksi fungsi yang sudah
ada; (5) pemberi identitas diri; dan (6) pendewasaan agama. Fungsi agama yang
dijelaskan Hendropuspito lebih ringkas lagi, tetapi intinya hampir sama.
Menurutnya, fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial,
memupuk persaudaraan, dan transformatif.
- Pengaruh Agama Terhadap Golongan dan Tipe-tipe Masyarakat
Nottingham
menjelaskan secara umum tentang hubungan agama dengan masyarakat yang
menurutnya, terbagi tipe-tipe. Tampaknya pembagia ini mengikutui konsep August
Comte tentang proses tahapan pwembentukan masyarakat. Adapun tipe-tipe yang di
maksud Nottingham itu adalah sebagai berikut.
1.
Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral.
Tipe masyarakat ini kecil, terisolasi dan terbelakang.
Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang
relative berkembang selain lembaga keluarga, agama menjadi focus utama bagi
pengintegrasian dan persatuan masyarakat dari masyatakat secara keseluruhan.
Oleh karena itu, kemungkinan agama memasukan pengaruh yang sacral ke dalam
system nilai-nilai masyarakat sangat mutlak.
2.
Masyarakat Praindustri yang Sedang Berkembang
Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan
teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan
ikatan kepada system nilai dalam tipe masyarakat ini. Tetapi, pada saat yang
sama, lingkungan yang sacral dan yang sekuler sedikit-banyak masih dapat
dibedakan. Misalnya, pada fase-fase kehidupan social masih diisi oleh upacara-upacara
keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas sehari-hari, agama
kurang mendukung. Agama hanya mendukung masalah adat-istiadat saja. Nilai-nilai
keagamaan dalam masyarakat menempatkan focus utamanya pada pengintegrasian
tingkah laku perseorangan, dan pembentukan citra pribadi mempunyai konsekuensi
penting bagi agama.Salah satu akibatnya,anggota masyarakat semakin terbiasa
dengan penggunaan metode empiris yang berdasarkan penalaran dan efesiensi dalam
menanggapi masalah- masalah kemanusiaan sehingga lingkungan yang bersifat
sekuler semakin meluas.
Berdasarkan tipe di
atas, ada beberapa model yang bias diklasifikasikan yaitu,
Model Pertama
, tipe masyarakat yang di dalamnya nilai-
nilai agama sangat berpenaruh:
1.
Masyarakat
kecil, terpencil, dan terbelakang.
2.
Tingkat perkembangan teknologinya rendah
dan pembagian kelas sosialnya sederhana.
3.
Keluarga merupakan lembaga terpenting.
4.
Sistem intelektual kepercayaan
dan mitos relatif homogen.
5.
Sistem perilaku religiusnya biasanya merupakan identifikasi
antara kelompok dengan pemujanya.
6.
Organisasi keagamaannya tidak terpisah
dari keseluruhan
kegiatan masyarakat lainnya.
7.
Fungsi agama dalam
kelompok sangat tampak.
Model Kedua, tipe
masyarakat yang didominasi oleh
nilai-nilai sekuler.:
1.
Masyarakat
industri sekuler.
2.
Penuh dinamik dan pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi menembus berbagai bidang kehidupan.
3.
Organisasi keagamaan cenderung
melibatkan diri dalam kehidupan duniawi.
4.
Organisasi kegamaan terpecah-pecah dan lepas
dari ikatanPemerintahan
5.
Agama
dan negara berjalan berdampingan secara
terpisah.
6.
Toleransi agama menjadi
sangat kuat.
7.
Fungsi agama secara internal meningkatkan
persatuan.
Model Ketiga,
tipe masyarakat yang merupakan
kombinasi antara religius dan sekuler.:
1.
Masyarakat industri yang sedang
berkembang.
2.
Masyarakatnya tidak begitu terpencil dan manerima perubahan.
3.
Pembagian kelasnya beraneka ragam dan melek huruf.
4.
Lembaga pemerintahan dan kehidupan ekonomi sedang menuju spesialisasi.
5.
Orang-orangnya dapat membedakan kapan dan di mana harus beribadat.
6.
Fungsi agama lebih kompleks dan
agama masih memberikan makna
penting kepada sistem
nilai masyarakat.
7.
Para penguasa masih menuntut atau meminta legitimasi keaga,aan
untuk memperkuat posisi
dan kewenangannya.
8.
Agama merupakan sistem perilaku tandingan bagi nilai-nilai tradisional.
9.
Fungsi pemersatu atau pengikat integrasi sosial dalam
masyarakat.
Karakter-karakter
yang dikemukakan Nottingham tersebut, tampaknya pengaruh agama terhadap golongan masyarakat
pun, jika dilihat dari karakter masing-masing golongan pekerjaan,tidak akan
berbeda jauh dengan pengaruh agama terhadap masyarakat yang digambarkan Notting
ham secara umum,karna system masyarakat akan mencerminkan budaya masyarakatnya.
1. Golongan petani.
Pada umumnya,golongn petani termasuk masyarakat yang terbelakang.Lokasinya
berada didaerah terisolasi system masyarakatnya masih sederhana,lembaga-lembaga
sosialnyapun belum banyak berkembang.Mata pencaharian utamanya bergantung pada
alam yang tidak bisa dipercepat,diperlamba,atau dperhitungkan secara cermat sesuai
dengan keinginan petani.Faktor subur tidaknya tanah,dan sebagainya merupakan
faktor-faktor yang brada di luar jangkauan petani oleh sebab itu,mereka mencari
kekuatan dan kemampuan di luar dirinya yang dipandang mampu dandapat mengatasi
semua persoalan yang telah atau akan menimpa dirinya.Maka,diadakanlah
upacara-upacara atau ritus-ritus yang dianggap sebagai tolak bala atau
menghormati dewa.Menyediakan sesajen bagi Dewi Sri,yang dipercayai sebagai
pelindung sawah dan ladang. Dengan pengamatan selintas pengaruh agama
tehadap golongan petani cukup besar.Jiwa keagamaan mereka relaitf lebih besar
karena kedekatannya dengan alam.
2. Golongan Nelayan.
Karakter pekerja golongan nelayan hampir
sama dengan karakter golongan petani.Mata pencahariannya berganyung pada
keramahan alam.Jika musimnya sedang bagus,tidak ada badai,boleh jadi tangkapan
ikannya melimpah.Biasanya pada waktu-waktu tertentu ada semacam upacara untuk
menghormati penguasa laut,yang pada masyarakat Indonesia dikenal sebagai Nyi
Roro Kidul. Berdasarkan fakta tersebut, pengaruh agama pada kehidupan nelayan
dapat dikatakan signifikan.
Apabila dilihat menurut konsep Nottingham,
baik golongan petani atau golongan nelayan, termasuk tipe masyarakat
terbelakang, yang nilai-nilai sakral sangat memasuki sistem nilai
masyarakatnya. Maka dalam penyampaian ajaran agama kepada mereka, hendaklah
dengan cara yang sederhana dan memakai contoh-contoh yang bisa diambil dari
lingkungan alamnya.
3. Golongan Pengrajin dan Pedagang Kecil.
Golongan pengrajin dan pedagang kecil
hidup dalam situasi yang berbeda dengan golongan petani.Kehidupan golongan ini
tidak terlalu berkutat dengan situasi alam dan tidak terlalu bergantung pada
alam.Hidup mereka didasarkan atas landasan ekonomi yang memerlukan perhitungan
rasional.Mereka tidak menyadarkan diri pada keramahan alam yang tidak bisa
dipastikan,tetapi lebih mempercayai perencanaan yang teliti danpengarahan yang
pasti.
Menurut Weber yang mempelajari
sejarah-sejarah agama dengan cara yang berlaku pada zamannya , yaitu agama
kristen, yahudi, Islam, Hindu, Budha, dan Konfusianisme, Taoisme golongan
pengrajin dan pedagang kecil suka menerima pandangan hidup yang mencakup etika
pembalasan. Mereka menaati kaidah moral dan pola sopan santun dan percaya bahwa
pekerjaan yang baik dilakukan dengan tekun dan teliti akan membawa balas jasa
yang setimpal. Akhirnya, agama yang mereka pilih adalah agama etis yang
rasional. Dengan kata lain, unsur emosi tidak memainkan peranan terpenting dan
utama seperti pada golongan petani dan nelayan. Hal ini serupa dengan tipe
masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Bagi mereka, dalam
persosalan-persoalan yang menyangkut kehidupan materi/sehari-hari, agama tidak
dijadikan rujukan utama. Bagi mereka, rasiolah yanhg menjadi pegangannya.
Meskipun demikian, pada sisi lain, misalnya berkenaan dengan tahapan-tahapan
kehidupan sosial seperti kelahiran, pertumbuhan anak, perkawinan, dan kematian
masih diliputi oleh perasaan keagamaan yang kental. Dalam hal ini, mereka masih
mengadakan upacara-upacara keagamaan.
4. Golongan Pedagang Besar
Kategori yang paling menonjol dari
golongan pedagang besar adalah memiliki sikapnya yang lain terhadap agama.Pada
umumnya kelompok ini mempunyai jiwa yang jauh dari gagasan tentang imbalan jasa
moral, seperti yang dimiliki golongan tingkat menengah bawah.mereka lebih
berorientasi pada kehidupan nyata dan cenderung menutup agama profetis dan
etis. Perasaan keagamaanya lebih bersifat fungsional. Kemampuan yang mereka
miliki terletak pada kekuatan ekonominya. Biasanya, sebagai formalitas, mereka
tidak segan-segan menyumbang sejumlah dana untuk kepentingan kegiatan agama,
mereka sendiri tidak terlibat langsung pada kegiatan tersebut. Pemberian
dananya cukup untuk mewakili perasaan keagamaanya.
5. Golongan Kariyawan
Weber menyebut golongan karyawan sebagai
kaum birokrat. Jika dilihat dari teori Nottingham, golongan ini dapat
dimasukkan pada masyarakat industri, karena sistem sosial yang ada sudah
bersifat modern. Hal ini dilihat dari
pembagian fungsi-fungsi kerja yang ada sudah jelas, dan adanya penyelesaian
suatu masalah kemanusiaan berdasarkan penalaran dan efisiensi. Berdasarkan
asumsi ini, dapat dipastikan bahwa rasa keberagamaan golongan karyawan berbeda
dengan golongan-golongan lain. Penelitian Weber di China, khususnya tentang
penganut agama konfosius, menyimpulkan bahwa kecenderungan rasa keagamaan
birokrasi bersifat “Serba mencari untung dan enak”. Yang menjadi penyebabnya,
karena rasa kekhawatiran karena ketidakpastian, ketidakmampuan, dan kelangkaan
dalam kehidupan sehari-harinya dapat dikatakan tidak pernah mereka alami.
Mereka sudah terjamin dengan kepastian datangnya sejumlah gaji pada setiap
bulan. Maka budaya yang dikembangkan, boleh jadi seperti penemuan Weber
tersebut adalah serba mencari keuntungan dan keenakan.
Akan tetapi, golongan karyawan di
Indonesia, terutama pada masa sekarang, tampaknya cukup religius. Di
kantor-kantor sudah terdapat tempat-tempat sholat yang terkadang dijadikan
tempat sholat Jum’at; bahkan, dana untuk membaya Khotib dan Imam Jum’atpun
dikeluarkan secara kadang ikut aktif dalam mengumpulkan dana zakat fitrah atau
zakat harta, atau menyelenggarakan sholat Idul Adha dan kurban, menghajikan
karyawan-karyawan yang beragama islam, secra bergilir atau berdasarkan prestasi
kerja, membolehkan karyawan wanita menggunakan jilbab sebagai salah satu
kewajiban yang diperintahkan dalam agama islam.
6. Golongan Buruh
Yang dimaksud dengan golongan buruh adalah
mereka yang bekerja dalam industri-industri atau perusahan-perusahaan modern. Berdasarkan
pengamatan Karl Marx, golongan buruh termasuk kelas proletar yang tidak
diikutsertakan dalam kehidupan masyarakat, disingkirkan dari sistem sosial yang
berlaku. Kelas ini merupakan golongan yang dijadikan sapi perahan untuk meraup
keuntungan yang sangat besar oleh kaum borjuis. Agama yang dibutuhkan oleh
golongan buruh tampaknya agama yang bisa membebaskan dirinya dari penghisapan
tenaga kerja secara berlebihan.
7. Golongan Tua-muda
Meskipun secara social penggolongan tua
muda ini ada, tetapi susah ditentukan batasannya secara praktis. Berdasarkan
pengamatan sepintas tersebut, dapat dikatakan bahwa agama pada golongan tua
lebih kental dibandingkan dengan golongan muda. Nanun, bila asumsi ini
diterapkan pada zaman sekarang, ternyata mengalami kesulitan juga, karena tidak
jarang banyak orang yang berumur 40 ke atas berlaku seperti anak muda.
Usia 40 tahun ini sering kali dijadikan
patokan oleh penganut agama untuk mempelajari agamanya secara intensif dan
berupaya menghayatinya secara mendalam dengan mengamalkan perintah dan larangan
ajaran agamanya. Misalnya saja, sholat berjamaah dimasjid-masjid seringkali
banyak di isi oleh orang golongan tua dari pada golongan muda. Golongan muda
lebih banyak mengisi acara-acara pesta atau kegiatan yang bersifat duniawi.
Berdasarkan pengamatan sepintas tersebut, dapat dikatakan bahwa agama pada golongan tua lebih kental dibandingkan dengan golongan muda. Namun, bila asumsi ini diterapkan pada zaman sekarang, ternyata mengalami kesulitan juga, karena tidak jarang orang yang berumur 40 tahun ke atas berlaku seperti anak muda, pergi ke pesta-pesta, diskotik, pub, atau cafe-cafe untuk berhura-hura. Sebaliknya, banyak diantara golongan muda mengikuti, melaksanakan dan mengisi waktunya dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Misalnya, kini bermunculan kelompok-kelompok pengajian remaja masjid yang mengadakan berbagai kegiatan keagamaan, seperti muludan, pesantren kilat, tabligh akbar, dan lain sebagainya. Bahkan kini, jilbab sudah menjadi mode yang trend dikalangan anak muda.
Berdasarkan pengamatan sepintas tersebut, dapat dikatakan bahwa agama pada golongan tua lebih kental dibandingkan dengan golongan muda. Namun, bila asumsi ini diterapkan pada zaman sekarang, ternyata mengalami kesulitan juga, karena tidak jarang orang yang berumur 40 tahun ke atas berlaku seperti anak muda, pergi ke pesta-pesta, diskotik, pub, atau cafe-cafe untuk berhura-hura. Sebaliknya, banyak diantara golongan muda mengikuti, melaksanakan dan mengisi waktunya dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Misalnya, kini bermunculan kelompok-kelompok pengajian remaja masjid yang mengadakan berbagai kegiatan keagamaan, seperti muludan, pesantren kilat, tabligh akbar, dan lain sebagainya. Bahkan kini, jilbab sudah menjadi mode yang trend dikalangan anak muda.
8. Golongan Pria-wanita
Secara psikologis, watak umum pria dan
wanita berbeda. Dalam menghadapi suatu keadaan, watak pria lebih dominan
menggunakan pertimbangan rasional, sedangkan wanita lebih rasa / emosinya.
Jika dilihat secara keseluruhan, tujuan
beragama seseorang itu rata-rata untuk mencari ketenangan batin. Dalam masalah
penghayatan keagamaan, tampaknya golongan wanita lebih dominan, karena faktor
pembawaan mereka umumnya cenderung emosional. Bagi wanita, yang terpenting dari
keberagaman itu dapat merasakannya secara langsung. Sementara golongan pria
kurang menghayati rasa-rasa keagamaan seperti itu. Mereka memerlukan dasar
rasionalnya terlebih dahulu. Oleh karena itu, pengaruh agama terhadap golongan
wanita cukup signifikan, sebaliknya, golongan pria cenderung mengarah ke arah
sekuler.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar