Minggu, 23 Juni 2013

fungsi agama dalam kehidupan



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dewasa ini semakin disadari bahwa perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat semakin cepat terjadi. Agama sebagai fenomena sosial merupakan bagian dari masyarakat yang terkena arus perubahan ini. Doktrin agama memiliki horizon yang luas, doktrin itu menjadi sumber nilai bagi pembentukan kepribadian, ideologi bagi gerakan sosial dan perekat hubungan sosial.
Doktrin agama manapun yang dianut oleh komunitas mana pun dibelahan dunia ini mengajarkan kepada pemeluknya untuk menjadi manusia yang baik, manusia yang jujur, manusia yang memiliki kasih sayang, mencintai kedamaian dan membenci kekerasan.
Kendati demikian tetap saja muncul anomali-anomali dalam mengaplikasikan nilai-nilai agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Terjadinya anomali bisa disebabkan oleh faktor-faktor kepribadian seseorang. Bisa karena keterbatasan ilmu yang dimilikinya, karena sentimen terhadap hal-hal tertentu atau karena sempitnya pemahaman terhadap nilai-nilai humanis agama yang dianutnya. Yang menjadi pertanyaan apakah penyimpangan atau anomali-anomali tersebut disebabkan oleh faktor kekuasaan dan politik atau faktor lainnya.
Ditengah perkembangan dunia yang semakin global dan sekuler, persoalan agama dan penghayatan iman digugat maknanya, karena banyak sekali perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai fungsi agama bagi kehidupan masyarakat.





B.  Rumusan Masalah
1.    Apakah pengertian dari agama?
2.    Bagaimana kehidupan masyarakat saat ini?
3.    Bagaimana fungsi agama bagi masyarakat serta analisisnya?

C.  Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui apakah pengertian dari agama.
2.    Untuk mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat saat ini.
3.    Untuk mengetahui bagaimana fungsi agama bagi masyarakat serta analisisnya.




















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta untuk menunjuk kepercayaan agama Hindhu dan Budha. Dalam perkembanganya kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia dan dipakai untuk menyebut kepercayaan yang ada di Indonesia secara umum.
Secara harafiah agama berarti tidak berantakan atau hidup teratur. Jadi Agama merupakan salah satu prinsip yang (harus) dimiliki oleh setiap manusia untuk mempercayai Tuhan dalam kehidupan mereka. Tidak hanya itu, secara individu agama bisa menjadi penuntun manusia dalam mengarungi kehidupannya sehari-hari. Beberapa ahli sosiologi memberikan pendapat mereka tentang agama, yaitu :

1.    Emile Durkheim
Agama merupakan sistem yang menyatu mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan dengan benda-benda sakral, yakni katakanlah benda-benda yang terpisah dan terlarng. Kepercayaan-kepercayaan dan peribadatan-peribadatan yang mempersatukan semua orang yang menganutnya ke dalam suatu komunitas moral yang disebut gereja.
2.    Karl Marx
Marx beranggapan bahwa agama adalah “candu masyarakat” yang mengelabuhi kesadaran manusia. Manusia seharusnya bekerja dan hidup untuk kebutuhan yang dirasakanya saat ini, yakni “kesejahteraan ekonomi”.
3.    Frans Dahler
Agama merupakan hubungan manusia dengan kekuasaan yang suci dimana kekuasaan yang suci tersebut lebih tinggi dari manusia.

Dari pendapat-pendapat tersebut, dapat kita ketahui bahwa dalam agama ada nilai-nilai tertentu yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah mempengaruhi manusia. Nilai-nilai agama itu sudah ada dalam diri manusia dan sangat mempengaruhi nilai hidup manusia sehingga ia memiliki kesadaran bahwa diluar dirinya ada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih suci yaitu agama.

B.   Masyarakat Indonesia Saat Ini
Indonesia pada dasarnya adalah masyarakat majemuk, dimana kemajemukan itu dapat kita lihat dalam hal suku, etnis, bahasa, agama, dan lain-lain. Kini ada enam agama yang berada ditengah–tengah bangsa ini dan dilindungi atau diakui secara legal. Atas dasar pluralitas yang begitu tinggi, Indonesia tidak lantas mengambil bentuk negara sebagai “negara agama” yang mendasarkan negara pada agama tertentu, dan tidak pula menjadi “negara sekuler” yang memisahkan agama dari urusan negara, tetapi Indonesia mengambil bentuk negara “Pancasila”.
Pancasila merupakan landasan Negara yang menjadi payung pelindung agama-agama yang ada di Indonesia. Pancasila menjadi wadah yang menjadi dasar pijak bersama seluruh anak bangsa dan agama menjadi isi pada dimensi ritual. Format ini bukan mengidentikkan negara dengan agama tertentu, tapi juga tidak melepaskan agama dari urusan negara. Indonesia meskipun dengan mayoritas penduduk muslim terbesar didunia tidak mengambil bentuk negara sebagai negara yang didasarkan Islam, tetapi mengambil bentuk sebagai negara Pancasila. Pola relasi ini bertahan hingga sekarang dengan segala bentuk dinamika kehidupan beragama yang selalu berubah.
Doktrin agama memiliki horizon yang luas, doktrin itu menjadi sumber nilai bagi pembentukan kepribadian, ideologi bagi gerakan sosial dan perekat hubungan sosial. Doktrin agama manapun yang dianut oleh komunitas mana pun dibelahan dunia ini mengajarkan kepada pemeluknya untuk menjadi manusia yang baik, manusia yang jujur, manusia yang memiliki kasih sayang, mencintai kedamaian dan membenci kekerasan. Secara substansi ajaran agama memberikan kerangka norma yang tegas bagi tingkah laku umatnya, nyaris sulit ditemukan doktrin-doktrin agama wahyu yang tidak mengajarkan hal-hal yang baik kepada pemeluknya.
Faktor doktrinal tidak selalu menjadi dasar pijakan yang utama dalam kehidupan social, bagaimanapun perubahan sosial, dinamika sosial dan struktur masyarakat menjadi dasar bagi terciptanya suatu sistem kenegaraan atau kemasyarakatan yang bersifat responsive. Di Indonesia, mayoritas masyarakatnya menganut islam. Secara sosiologis, klaim mayoritas seringkali menjadi alasan bagi kalangan islam untuk “menguasai” konstitusi Negara dengan doktrin islam, meski hal itu merupakan konsekuensi logis dari penerimaan atas sistem demokrasi, tetapi makna doctrinal islam sejatinya harus dikontekskan dengan kecenderungan perubahan yang berlangsung dalam tubuh umat dan bangsa. Walaupun upaya-upaya kalangan islam tersebut maksimal, tetapi terbentur dengan kenyataan politik yang tidak berpihak kepada upaya-upaya pelegalformalan islam dan konstitusi Negara.


C.  Analisis Fungsi Agama
Banyak ahli telah mengemukakan gagasan mereka tentang bagaimana sebenarnya fungsi agama bagi kehidupan masyarakat. Seperti misalnya Durkheim yang mengungkapkan bahwa sasaran-sasaran keagamaan adalah lambang-lambang masyarakat, kesakralannya bersumber pada kekuatan yang dinyatakan berlaku oleh masyarakat secara keseluruhan bagi setiap anggotanya, dan fungsinya adalah mempertahankan dan memperkuat rasa solidaritas dan kewajiban sosial.
Seorang sosiolog lain, Radcliffe-Brown mengungkapkan bahwa berbagai peribadatan memiliki fungsi sosial tertentu ketika, dan sampai batas tertentu. Peribadatan-peribadatan itu berfungsi untuk mengatur, memperkokoh dan mentransmisikan berbagai sentimen dari satu generasi kepada generasi lainnya, juga sebagai tempat bergantung bagi terbentuknya aturan masyarakat yang bersangkutan.
Sementara secara umum fungsi dari agama dalam masyarakat antara lain adalah :
1.    Fungsi Edukatif
Ajaran agama secara yuridis (hukum) berfungsi menyuruh/mengajak dan melarang yang harus dipatuhi agar pribagi penganutnya menjadi baik dan benar, dan terbiasa dengan yang baik dan yang benar menurut ajaran agama masing-masing.
2.    Fungsi Penyelamat
Dimanapun manusia berada, dia selalu menginginkan dirinya selamat. Keselamatan yang diberikan oleh agama meliputi kehidupan dunia dan akhirat. Charles Kimball dalam bukunya Kala Agama Menjadi Bencana melontarkan kritik tajam terhadap agama monoteisme (ajaran menganut Tuhan satu). Menurutnya, sekarang ini agama tidak lagi berhak bertanya: Apakah umat di luat agamaku diselamatkan atau tidak? Apalagi bertanya bagaimana mereka bisa diselamatkan? Teologi (agama) harus meninggalkan perspektif (pandangan) sempit tersebut. Teologi mesti terbuka bahwa Tuhan mempunyai rencana keselamatan umat manusia yang menyeluruh. Rencana itu tidak pernah terbuka dan mungkin agamaku tidak cukup menyelami secara sendirian. Bisa jadi agama-agama lain mempunyai pengertian dan sumbangan untuk menyelami rencana keselamatan Tuhan tersebut. Dari sinilah, dialog antar agama bisa dimulai dengan terbuka dan jujur serta setara.
3.    Fungsi Perdamaian
Melalui tuntunan agama seorang/sekelompok orang yang bersalah atau berdosa mencapai kedamaian batin dan perdamaian dengan diri sendiri, sesama, semesta dan Alloh. Tentu dia/mereka harus bertaubat dan mengubah cara hidup.
4.    Fungsi Kontrol Sosial
Ajaran agama membentuk penganutnya makin peka terhadap masalah-masalah sosial seperti, kemaksiatan, kemiskinan, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Kepekaan ini juga mendorong untuk tidak bisa berdiam diri menyaksikan kebatilan yang merasuki sistem kehidupan yang ada.
5.    Fungsi Pemupuk Rasa Solidaritas
Bila fungsi solidaritas ini dibangun secara serius dan tulus, maka persaudaraan yang kokoh akan berdiri tegak menjadi pilar "Civil Society" (kehidupan masyarakat) yang tertib. Menggunakan istilah Habermas, perjuangan kita sekarang bukanlah satu melawan yang lain (fight against) dalam kemajemukan sistem nilai itu, melainkan perjuangan bersama untuk (fight for) menemukan sistem nilai yang melengkapi.
6.    Fungsi Pembaharuan
Ajaran agama dapat mengubah kehidupan pribadi seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru. Dengan fungsi ini seharusnya agama terus-menerus menjadi agen perubahan basis-basis nilai dan moral bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
7.    Fungsi Kreatif
Fungsi ini menopang dan mendorong fungsi pembaharuan untuk mengajak umat beragama bekerja produktif dan inovatif bukan hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.

Analisis lain secara sosiologis terkait dengan fungsi agama adalah :

1.    Agama sebagai bagian dari kebudayaan
Dari sudut pandang fenomenologis, agama dapat dipandang sebagai pengalaman “sui generis” yang tidak dapat direduksikan dalam telaah ilmiah obyektif. Dalam pandangan Rudolf Otto misalnya, hidup keagamaan itu dilukiskan sebagai pengalaman “mysterium tremendum et fascinosum” yang mengerakkan pemeluk agama untuk hormat bakti kepada ilahi. Dari sudut pandang sosiologis, misalnya menurut Peter Berger, agama dilukiskan sebagai kegiatan manusia  dalam rangka kepercayaanya kepada illahi. Namun secara sosiologis masyarakat dipandang selalu sebagai produk dari kegiatanya sendiri. Dalam kegiatan ini terjadilah proses yang oleh Berger disebut sebagai “eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi terus menerus”.
Kegiatan masyarakat sebetulnya adalah menata dirinya sendiri, menciptakan keteraturan dari pengalaman-pengalaman hidup bersamanya dan membangun dunianya. Aktifitas semacam ini disebut nomisasi (nomos artinya hukum, tata tertib dan penataan makna). Dalam lingkup keagamaan, diciptakanlah secara khusus tata tertib yang dipahami maknanya dan diinternalisasikan. Agama menciptakan semacam kosmos keramat dimana masyarakat religious hidup terlindungi dalam keteraturan puncak. Dalam kosmos keramat ini pula, manusia dibebaskan dari rasa cemas karena kekacauan anomik (tanpa nomos), yakni tanpa hukum dan peraturan yang menyatukan mereka. Anomik kata Berger merupakan ancaman manusia terus-menerus. Dengan demikian agama dipandang sebagai lembaga yang amat penting.
Akan tetapi, dalam suatu masyarakat dengan kegiatan yang amat kompleks, agama sebenarnya hanyalah salah satu unsur dari sistem kebudayaan, disamping ekonomi, ilmu dan tekhnologi, sistem sosial politik dan kesenian. Memang bisa saja agama menjadi dominan dan menentukan konfigurasi dari unsur-unsur lain, seperti misalnya Kristianisme di Eropa pada abad pertengahan. Dalam msyarakat seperti itu memang segala kegiatan lainya seolah-olah harus dirujuk pada pertimbangan dan persetujuan agama.



2.    Agama, Teologi, Dan Kehidupan Bersama
Konflik bernuansa agama yang terjadi di Maluku dan Poso amat memprihatinkan dan merupakan ironi yang sulit untuk dipahami. Orang mungkin berdalih untuk menginkari adanya hubungan antara agama dan kekerasan, tapi dalih atau keterangan semacam itu tidak cukup menghibur ataupun memberi pemecahan yang kita harapkan. Agama-agama primitif beranggapan bahwa kekerasan dan penderitaan berasal dari Tuhan sebagai hukuman. Dalam pandangan semacam ini mudah ditarik logika bahwa pengikut agama merasa berhak pula menimpakan hukuman itu kepada lawan-lawanya. Tentu saja pandangan yang demikian ini, khususnya dalam masyarakat plural amat membahayakan keutuhan sosial. Barangkali lebih baik diakui bahwa kehidupan keagamaan kita, khususnya dimensi sosialnya memang belum dewasa dan teologi masih harus mengolah masalah ini. Sebenarnya dalam kehidupan masyarakat saat ini agama berfungsi untuk menegakkan perdamaian terutama perdamaian antar agama.
Dalam perspektif inilah kiranya teologi perlu dibicarakan karena teologi merupakan refleksi atas kehidupan beriman, kehidupan beragama yang benar. Maka pendidikan teologi yang berfungsi merefleksikan kiprah dan peran agama dalam masyarakat dan kiranya harus menjadi agenda untuk semua agama. Selanjutnya perlu diadakan pendekatan antara teologi-teologi agama yang berbeda-beda.








BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Agama merupakan sistem keyakinan dan praktik terhadap hal-hal yang sakral, yakni keyakinan dan praktik yang membentuk suatu moral komunitas dalam pemeluknya. nilai-nilai agama sudah ada dalam diri manusia dan nilai-nilai tersebut sangat mempengaruhi nilai hidup manusia sehingga ia memiliki kesadaran bahwa diluar dirinya ada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih suci yaitu adalah agama.
Secara umum fungsi dari agama dalam masyarakat
-                 Fungsi Edukatif
-                 Fungsi Penyelamat.
-                 Fungsi Perdamaian.
-                 Fungsi Kontrol Sosial.
-                 Fungsi Pemupuk Rasa Solidaritas.
-                 Fungsi Pembaharuan.
-                 Fungsi Kreatif.
Secara Sosiologis agama merupakan salah satu unsur dari sistem kebudayaan, disamping ekonomi, ilmu dan tekhnologi, sistem sosial politik dan kesenian. Memang bisa saja agama menjadi dominan dan menentukan konfigurasi dari unsur-unsur lain, seperti misalnya Kristianisme di Eropa pada abad pertengahan. Dalam masyarakat seperti itu memang segala kegiatan lainya seolah-olah harus dirujuk pada pertimbangan dan persetujuan agama.
Dalam kehidupan masyarakat saat ini agama berfungsi untuk menegakkan perdamaian antar agama, kiranya teologi perlu dibicarakan karena teologi merupakan refleksi atas kehidupan beriman, kehidupan beragama yang benar. Maka pendidikan teologi berfungsi merefleksikan kiprah dan peran agama dalam masyarakat dan kiranya harus menjadi agenda untuk semua agama. Selanjutnya perlu diadakan pendekatan antara teologi-teologi agama yang berbeda-beda.




























DAFTAR PUSTAKA

Dr. Syarifudin Jurdi. SOSIOLOGI ISLAM & MASYARAKAT MODERN: Teori Fakta Dan Aksi Sosial . 2010. Jakarta : Kencana 
A. Sudiraja. Agama (di Zasman ) Yang Berubah. 2006. Yogyakarta : Kanisius
A. Irwan, dkk. AGAMA dan KEARIFAN LOKAL dalam TANTANGAN GLOBAL. 2008. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Scharf, Betty. R, 1995. Kajian Sosiologi Agama. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Zakiah Daradjat, 1983. Peranan Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: PT Gunung Agung.
Sjafruddin Prawiranegara, 1986. Islam Sebagai Pedoman Hidup. Jakarta: Inti Idayu Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar